Review Makalah Tentang Aliran Jabariyah

Posted by Rumah Subsidi Malang

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah. Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

B.    Permasalahan
Beberapa permasalahan yang akan muncul berkaitan dengan latar belakang di atas, antara lain mengenai: Pengertian dan Latar Belakang Lahirnya Jabariyah, Sejarah Jabariyah, Awal Kemunculan Jabariyah, Kelompok dan Faham Jabariyah, Pemimpin Penganut Jabariyah, Penolakan Terhadap Paham Jabariyah, Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah, Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah, Perbuatan dan Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah, Refleksi Faham Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah, Pertanyaan-Pertanyaan kepada Jabariyah dan Jawabannya.

C.    Tujuan
Tujuan yang diharapkan mampu dicapai dalam makalah ini adalah penulis dan pembaca mampu mengerti dan memahami pengertian dan latar belakang lahirnya Jabariyah, sejarah Jabariyah, awal kemunculan Jabariyah, kelompok dan faham Jabariyah, Pemimpin penganut Jabariyah, penolakan terhadap paham Jabariyah, ciri - ciri ajaran Jabariyah, Qadha dan Qadar serta makna takdir allah menurut jabariyah, perbuatan dan kehendak manusia dengan qudrat iradat Allah menurut Jabariyah, refleksi faham Jabariyah: sebuah perbandingan tentang musibah, dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aliran Jabariyah.




BAB II
PEMBAHASAN ALIRAN JABARIYAH

A. Pengertian  dan Latar Belakang Lahirnya Aliran Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah SWT. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia. 
Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). 
Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti. 
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.  Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,  yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan di sekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Al-Quran sendiri banyak terdapat ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya:
1.    QS ash-Shaffat: 96
 
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
2.    QS al-Anfal: 17
 
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka”.
3.    QS al-Insan: 30


“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.    Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.    Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.    Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. 

B. Sejarah Jabariyah
Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M). Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.

C. Awal Kemunculan Jabariyah
Secara sosiologis, Masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham Jabariyah. Bangsa Arab yang pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanahnya yang gundul. Dalam dunia yang demikian mereka tidak banyak melihat jalan untuk merubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup yang ditimbulkan suasana padang padang pasir. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada faham fatalism . Disamping itu, dalam bukunya Ilmu Kalam,Thaib Thahir mengungkapkan bahwa faham ini disebabkan karena disebabkan kuatnya iman terhadap qudrat (kuasa) dan iradat (berkehendak) Allah ditambah pula dengan sifat wahdaniyat (Esa)-nya itulah yang mendorongnya kepada faham jabariyah.
Aliran ini muncul ketika masa Bani Umayyah. Pemimpin pertama dari aliran jabariyah ini adalah jaham bin sofwan. Karena itu faham ini kadang-kadang disebut Al-jahamiyah. Meskipun jaham yang banyak berperan dalam menyebarkan faham ini, tetapi Aliran ini untuk pertama kali dalam sejarah teologi Islam ditonjolkan oleh al-Jad bin Dirham. Aliran Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariyah, dan tampaknya merupakan reaksi dari padanya. Daerah tempat timbulnya pun tidak berjauhan. Aliran jabariyah timbul di Khurasan Persia sedangkan Qadariyah timbul di Iraq.
Jaham lah yang pertama kali mengatakan bahwa manusia dalam keadaan terpaksa, tidak bebas dan tidak mempunyai kekuasaan sedikit juapun untuk bertindak dalam mengerjakan sesuatu. Allah lah yang menentukan sesuatu itu kepada seseorang, apa yang akan dikerjakannya, baik dikehendaki oleh manusia itu sendiri maupun tidak. Jadi Allah lah yang memperbuat segala pekerjaan manusia.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat).
Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah.
Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.

D. Kelompok dan Faham Jabariyah
Tampaknya setiap aliran memilki faham yang mereka anut dan mereka jalankan sesuai dengan keyakinan mereka. Meskipun sebuah aliran sudah tidak ada, namun faham-faham aliran tersebut masih terus bergulir saling mempengaruhi dari generasi ke generasi. Meskipun secara jelas aliran jabariyah ini sudah hampir tidak dijumpai lagi, namun faham-fahamnya masih ada. Sejalan dengan faham jabariyah ini adalah faham Fatalism. Disamping itu juga ada beberapa golongan yang memilki pemahaman yang serupa dengan jabariyah, dan dalam jabariyah itu sendiri terbagi menjadi kelompok.
1. Kelompok moderat
Faham moderat ini dipelopori dan di bawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al- Najjar. Kata al-Najar, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik perbuatan baik maupun perbuataan jahat. Meski demikian manusia memilki andil dalam perbuatan-perbuatannya. Tenaga yang diciptakan-Nya memilki efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dan inilah yang disebut usaha, kasb atau acquition. Senada dengan faham ini adalah fahamnya Dirar Ibn ‘Amr ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia pada hakekatnya diciptakan Tuhan, dan diperoleh (acquired, iktasaba) pada hakekatnya oleh manusia.
Dalam faham yang dibawa Dirar dan al-Najjar ini manusia tidak lagi merupakan wayang yang digerakan oleh dalang. Manusia telah mempunya bagian dalam perwujudan perbuatan-perbuatannya. Menurut faham ini, manusia dan Tuhan bekerjasama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia semata-mata tidak dipaksa dalam dalam melakukan perbuatan-perbuatannya. Faham kasb yang dibawa Dirar dan al-Najjar merupakan faham penengah dari faham Qadariyah yang dibawa Ma’bad serta Ghailan dan faham Jabariyah yang dibawa oleh Jahm.
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
2. Kelompok ekstrem
Faham ekstrem ini lah yang dibawa oleh jahm bin shafwan.  Kaum jabariyah ekstrem ini berpendapat bahwa manusia tidak memilki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Nama Jabariyah sendiripun diambil dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham yang memandang bahwa manusia dalam mengerjakan perbuatanya terpaksa (majbur) dalam istilah Inggris faham ini disebut faham fatalism atau predenstination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Allah.
Menurut Jahm manusia tidak memilki kekuasaan untuk berbuat apa-apa; manusia tidak mempunyai daya, tidak memilki kehendak sendiri dan tidak mempunyai kekuasaan serta tidak memilki pilihan. Manusia dalam perbuatan-perbuatannya adalah dipaksa dengan dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan baginya
.هو مجبور في أفعاله لا قدرة له ولااردة ولا اختيار
Perbuatan-perbuatan diciptakan tuhan dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerak yang diciptakan Tuhan dalam benda-benda mati. Oleh karena itu manusia berbua bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam arti majazi atau kiasantak obahnya sebagaimana disebut air mengalir, batu bergerak, maahari terbit dan sebaginya. Segala perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya termasuk didalamnya perbuatan-perbuatan seperti menegrjakan kewajiban, menerima pahala dan menerima siksaan.
Menurut faham ekstrem ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Kalau seorang mencuri, umpamanya, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena kada dan kadar Tuhan menghendaki yang demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukanlah kehendaknya sendiri, tetapi Tuhan lah yang memaksa ia mencuri. Manusia, dalam faham ini hanya merupakan wayang yang digerkan oleh sang dalang. Sebagaimana manusia digerakan oleh Tuhannya. Tanpa gerak dari Tuhan manusia tidak bisa berbuat apa-apa.
Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah.
Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.  Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.

E. Pemimpin Penganut Jabariyah
1.    Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri. Pendapat-pendapatnya :
a.    Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.

b.    Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa.



2.    Jahm bin Shafwan
Ia berasal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayad.
Pendapat-pendapatnya:
a.    Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
b.    Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
c.    Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh manusia.

F. Penolakan Terhadap Paham Jabariyah
Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab (usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah terjadi.
Aqidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
1. Dalil-Dalil Al Qur'an
a)    Allah SWT berfirman,

"Ítulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An Naba : 39)
b)    Firman Allah SWT :

"Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana saja kamu kehendaki. (QS. Al Baqarah : 223)
Fokus pengambilan dalil dari kedua ayat di atas, bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan yang dapat mengantarkannya menuju keridhaanNya. Allah juga memberikan mereka kebebasan untuk mendatangi istri-istri mereka pada tempat yang ditetapkan sekehendak mereka.
2. Dalil-Dalil Dari As Sunnah
Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di surga atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab kita dan meninggalkan usaha?" Beliau menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Dalil-Dalil Dari Akal
Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk mengerjakan keduanya sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan apa yang diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena keinginannya sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu yang tanpa disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya. Seperti orang yang mimpi basah di siang bulan ramadhan, maka puasanya tidak batal karena hal itu terjadi karena bukan pilihan orang itu. Tetapi jika orang itu dengan sengaja melakukan onani sehingga keluar air mani, maka batallah puasanya karena hal itu terjadi akibat kehendak dan pilihannya.

"(
Artinya: “(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir : 28-29)
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk dalam kehendak Allah SWT.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang berkata bahwa Allah memaksa manusia atas semua perbuatan mereka. Beliau menjawab, "Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya." Beliau berkata, "Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan petunjuk kepada siapa yang berkehendak.." Lalu datanglah kepadanya seorang lelaki seraya berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Allah memaksa manusia untuk taat." Beliau menjawab, "Alangkah buruknya apa yang dikatakannya."

G. Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah 
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1.    Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2.    Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3.    Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4.    Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5.    Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.    Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7.    Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
8.    Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

H. Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah
Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol. 

I. Perbuatan dan Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut Jabariyah
Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah. 
Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya, semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua perbuatan manusia merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: "Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar".(QS: 4: An-Nisa':13)
Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Artinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4: An-Nisaa':14)
Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana firman Allah:

Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56)
Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang dilakukan disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar (durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana (bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama).
Hal ini menurut Jalaluddin Ar-Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu berisikan perintah dan larangan.
Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk, semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat kita menyatakan bahwa sungai itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya. Manusia menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan ditiup angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua golongan yang satu sama lainnya saling bertolak belakang.
Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis (sesuatu yang baru).

J. Refleksi Faham Jabariyah: Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan. Paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah.
Paham ini dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah.
Dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa.

K. Pertanyaan-Pertanyaan kepada Jabariyah dan Jawabannya
Dalam dialektika keilmuan, beradu argument dalam rangka mempertahankan pendapat dan membuka diri untuk dapat dikritik merupaka sebuah tradisi. Mereka tidak menutup diri dari kritik, hanya yang belum berpendirian teguhlah yang belum berani terbuka. Hal ini dibuktikan mislanya pada tradisi dialektika masa filsuf yunani. Disamping itu pula dalam dunia teologi Islam, saling serang menyerang argument adalah hal yang biasa. Di bawah ini ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan kepada Jabariyah dan bagaimana mereka menjawabnya.
Sebelum memualai pada pertanyaan dan jawaban mereka, alangkah lebih baik diketahui terlebih dahulu bagaimana jalan pikiran Jabariyah dalam soal-soal keimanan lainnya. Di bawah ini akan diuraikan alam pikiran Jabariyah:
1.    Apa yang diperbuat itu adalah atas qudrat dan iradat Allah semata, tanpa campur tangan manusia sedikitpun. Tetapi dengan faham ini tidak berarti bahwa Jabariyah menganggap semua kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah itu sia-sia saja, dan juga mereka tidak menganggap bahwa balasan-balasan Tuhan atas kejahatan manusia itu sebagai kezhaliman.
2.    Ahli Jabariyah tidak mendustakan utusan-utusan Allah dan tidak juga membebaskan diri dari semua larangan-larangan Allah. Dari sini teranglah bahwa Jabariyah tidak sama dengan kaum Musyrikin yang menentang kewajiban dan larangan Allah dengan menggunakan alasan: jika Allah tidak menghendaki kami menjadi kaum Musyrikin, niscaya tidak akan menjadi orang Musyrikin.
Setelah mengetahui alur pikiaran, maka timbullah beberapa pertanyaan yang ditujukan pada mereka diantaranya:
1.    Kalau pedapat ahli Jabariyah seperti yang disebutkan diatas, maka apakah artinya Tuhan mengutus Rasulnya dan menurunkan Qur’an yang penuh dengan perintah, larangan, janji dan ancaman? Tidaklah itu menajadi sia-sia belaka?
•    Jabariyah menjawab semuanya itu tidak sia-sia, karena semuanya itu pun untuk menjalankan qadar Allah juga terhadap orang-orang yang ta’at dan orang-orang yang maksiat. Keadaan itu tidak bedanya dengan Tuhan menurunkan hujan. Jika hujan itu jatuh di atas tanahyang subur tentu akan menyuburkan dan akan menumbuhkan macam-macam tumbuhan atas izin dan kekuasaan Allah SWT. Sedangkan sebagian hujan yang lain jatuh di atas tanah yang tandus karena sudah ditakdirkan Allah demikian.
•    Demikian pula Allah menerbitkan matahari, yang dengan sinarnya berpencerlah faedah dan kemanfaatan yang tidak erbilang banyaknyabagi kehidupan manusia dan langsungnya hidup alam fana ini. Tidak bedanya dengan hal itu Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus Rasul-rasul Nya yang dipilih dari hamba-hamba Nya, bagaikan hujan dan matahari yang penuh dengan rahmat dan hikmah. Bilamana hikmah dan pengajaran Rasul-rasul Nya itu kebetulan sampai kepada oarng yang hatinya telah dibukakan Allah untuk menerimanya niscaya segeralah ia menangkap dan menerima ajaran-ajaran yang mengandung hikmah itu.
•    Sebaliknya bila ajaran-ajaran itu jatuh kepada orang-orang yang memang hatinya tidak bersedia menerimanya, sudah tentu ia tidak akan suka menerimanaya, malahan ia lari dan benci terhadap ajaran-ajaran yang amat tinggi nilainya itu. Sedangkan dakwah itu seolah-olah suatu kewajiban yang ditaklif (diwajibkan), tetapi pada hakekatnya merupakan merupakan kewajiban untuk membuktikan ketaatan mereka yang sangat taat, dan perintah Tuhan bagi orang-orang maksiat itu, adalah sebagi perintah memperolok-olok saja, atau untuk menjadi bukti akan kelalaian dan pembangkangan mereka.
•    Allah mengutus para Rasul untuk menyampaikan dakwah perintah-perintah Tuhan, kepada seluruh manusia. Dengan begitu maka mereka tidak ada alasan untuk mengingkari adanya kewajiabn - kewajiban itu. Kalu kitab-kitab itu tidak diturunkan Allah dan Allah tidak mengutus utusan yang menyampaikan dakwah itu, mungkin timbul perdebatan kalau seandainya kami menerima menerima ajaran-ajaran itu, tentu kami akan iman dan akan lebih sempurna iman kami dari pada mereka yang sudah beriman sekarang.
•    Demikianlah, maka dengan telah diturunkannya kitab-kitab Allah dan diutusnya Rasul-rasul itu, akan ternyata kelak bahwa merek melakuakan kejahatn dan tidak suka tunduk kepada ajaran Rasul –rasul itu harus memilki konsekwensi atas perbuatannya sendiri dan tidak akan melemparkan pertanggung jawaban itu kepada Rabbul ‘alamin.
2.    Bagaimana Tuhan memperbuat hambanya celaka sedangkan semua kelakuan hambanya adalah Allah jua yang menunjukannya, Allah jua yang membuatnya, dan Allah jua yang memudahkan terlaksananya. Maka tidakkah hal itu dapat dikatakan kezhaliman? Tidakkah sebaiknya kalau semua hamba Allah itu dijadikan orang yang baik-baik dan semuanya bahagia?
•    Jabariyah menjawab segala apa saja yang terjadi di alam ini adalah telah ditentukan Allah dalam azalinya. Dan semua yang dijadikan Allah itu tentu ada hikmahnya. Allah memberi wujud pada sesuatu seperti yang tampak wujud dimata kita ini, adalah menurut kemauan dan yang dikehendaki, serta menurut tujuan sesuatu yang dimintanya kepada Allah. Oleh karena itu kita tidak boleh bertanya-tanya sesuatu yang sudah terjadi itu mengapa dijadikan demikian, umpamanya:mengapa emas dijadikan kekuning-kuningan, mengapa tanah dijadikan tanah seperti ini, dan mengapa api itu bias menghanguskan dan air itu bias memadamkan? Dan seterusnya. Begitu pula tidak boleh dikatakan, mengapa yang baik itu dikatakan baik, dan yang buruk itu dijadikan buruk ? dan mengapa sebagian yang lainnya dihinakan, di dunia atau di akhirat ? karena Allah itu memberikan sesuatu itu sesuai dengan ilmu Allah sebagaimana firman Allah dalam surat Thaha ayat 50
اعطى كلا شيئ خاقه ثم هدى
•    “ Allah Ta’ala itu memberikan kepada sesuatu apa juapun kejadiannya kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya”.
•    Seperti di atas juga telah disebutkan bahwa orang tidak perlu memperkatakan mengapa si A dijadikan baik sedang si C dijadikan jelek, atau mengapa si B menjadi orang yang sedang-sedang. Sebab persoalan ini merupakan persoalan yang berputar bagaikan lingkaran yang tiada berujung dan berpangkal. Sebab walaupun pekerjaan itu baik toh masih akan ditanya juga sebab mengapa diperbuat baik, tidak diperbuat yang jelek saja. ?
•    Allah SWT Tuhan semesta alam pencipta dan pengatur alam, lebih baik berhak untuk mengerjakan dan menunjukan kekuasaan Nya di alam yang luas ini menurutkehendak dan kemauan Nya. Hal itu sesuai dengan firman Allah :
وربك يخلق ما يشاء ويختار
•    “Tuhanmu lah yang menjadikan segala pa yang dikehendaki Nya serta memilih dan menentukan Nya” (al-qashas : 68)
•    Manusia tidak berhak untuk menyanggah apa yang telah ditentukan dan ditetapkan serta diperbuat Allah, tetapi Allah berhak menuntut dan mengadili apa yang diperbuat oleh manusia. Sebab akal manusia tidak akan sanggup mencapai ilmu Allah, dan hanya Allah lah Yang Maha Mengetahui hikmah-hikmah yang lebih dalam tentang apa-apa yang dijadikan Nya. Demikianlah, semua yang telah diuraikan di atas, adalah uraian singkat tentang sekelumit Jabariyah.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.    Pengertian Aliran Jabariyah secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat dan baik semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT dan bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia . Ayat-ayat Al-Quran yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham jabariyah, diantaranya: QS Ash-Shaffat: 96, Al-Anfal: 17 dan Al-Insan: 30.
2.    Sejarah Jabariyah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M) perjanjian antara Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang ingin memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.
3.    Awal kemunculan jabariyah: secara sosiologis, Masyarakat Arab sebelum Islam pada waktu itu bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanahnya yang gundul. Dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak tergantung pada kehendak natur. Hal ini membawa mereka pada faham fatalism karena disebabkan kuatnya iman terhadap qudrat (kuasa) dan iradat (berkehendak) Allah ditambah pula dengan sifat wahdaniyat (Esa)-nya itulah yang mendorongnya kepada faham jabariyah.
4.    Kelompok dan faham Jabariyah:
a)    Kelompok moderat: Faham moderat ini dipelopori dan di bawa oleh al-Husain Ibn Muhammad al- Najjar. Kata al-Najar, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik perbuatan baik maupun perbuataan jahat
b)    Kelompok ekstrem: Faham ekstrem ini lah yang dibawa oleh jahm bin shafwan.  Kaum jabariyah ekstrem ini berpendapat bahwa manusia tidak memilki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
5.    Pemimpin penganut Jabariyah:
a)    Ja'd Bin Dirham.Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
b)    Jahm bin Shafwan. Ia berasal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwa dengan Bani Ummayad.
6.    Penolakan terhadap paham Jabariyah:
a)    Dalil-Dalil Al Qur'an: QS. An Naba : 39, dan Al Baqarah : 223
b)    Dalil-Dalil Dari As Sunnah
Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan tempat duduknya di surga atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab kita dan meninggalkan usaha?" Beliau menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim).
c)    Dalil-Dalil Dari Akal
Setiap orang tahu bahwa dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena keinginannya sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu yang tanpa disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya.
7.    Ciri - ciri ajaran Jabariyah
a)    Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
b)    Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
c)    Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
d)    Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
e)    Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
f)    Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
g)    Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.
h)    Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
8.    Qadha dan Qadar serta makna takdir allah menurut  Aliran Jabariyah berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Dan mengibaratkan bahwa perbuatan manusia tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin.
9.    Perbuatan dan kehendak manusia dengan qudrat iradat Allah menurut Jabariyah: berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah. Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau kehendak) Allah. 
10.    Refleksi faham Jabariyah: sebuah perbandingan tentang musibah, Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah.
11.    Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan aliran Jabariyah:
a.    Apakah artinya Tuhan mengutus Rasulnya dan menurunkan Qur’an yang penuh dengan perintah, larangan, janji dan ancaman?
b.    Bagaimana Tuhan memperbuat hambanya celaka sedangkan semua kelakuan hambanya adalah Allah yang menunjukannya dan yang memudahkan terlaksananya. Maka tidakkah hal itu dapat dikatakan kezhaliman? Tidakkah sebaiknya kalau semua hamba Allah itu dijadikan orang yang baik-baik dan semuanya bahagia?.

DAFTAR REFERENSI
Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)

al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)

asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)

Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)
Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1

Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63
Harun Nasution, op.cit., h. 31

Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239

Said Aqil Humam Abdurrahman, Penjelasan menyeluruh tentang Qadha dan Qadar, Al-Azhar Press, Bogor:2004

Abu Lubaba, Husein, Pemikiran Hadist Mu'tazilah, Pustaka Firdaus, Jakarta

DR. Fuad Mohd. Fachruddin, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam, CV. Yasaguna, Jakarta: 1990

Dr. Said bin Musfin Al-Qahthani, Buku Putih Syekh Abdul Qadir Al-Jaelani, Penerbit Buku Islam Kaffah, Jakarta: 2003

Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc., Mengenal Aliran-aliran Islam dan ciri-ciri ajarannya, Pustaka Al-Riyadl, Jakarta: 2003

Sutrisna Sumadi, Sag. dan Rafi'udin, Sag., Kebebasan Manusia atas Takdir Allah berdasar Konsep Penciptaan Nabi Adam a.s, Pustaka Quantum, Jakarta: 2003

Abbas, Siradjuddin, 2005, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta.

Nasution, Harun, 2008, Teologi Islam, Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta

Nasution, harun, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan, UI Press, Jakarta, 1983, hal 31

Nasir Shalihun, pengantar ilmu kalam, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hal 133

Abdul mun’m Thaib Thahir, Ilmu Kalam, Widjaya, Jakarta, 1986,Hal 101

Lih al-Milal jilid 1 hal 87

Nasution, harun, op.cit hal 34

A. Nasir Shalihun, op.cit. hal 242-246

http://datarental.blogspot.com/2009/06/aliran.qodariyah.html diakses pada 28 Oktober 2010

http://www.ilma95.net/jabariyah.html diakses pada 28 Oktober 2010

http://ahmad-mubarak.blogspot.com/2008/09/ilmu-kalam.html diakses pada tanggal 28 Oktober 2010 .


{ 1 comments... read them below or add one }

Anonim mengatakan...

sangat membantu :)

Posting Komentar