Home » semester 5 » MUSAQAH MUZARA’AH dan MUKHABARAH
MUSAQAH MUZARA’AH dan MUKHABARAH
Posted by Rumah Subsidi Malang
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pedesaan banyak sekali persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan begitu saja. Yang mana butuh penguatan hokum untuk dijadikan sebagai pedoman.
Salah satunya adalah masalah perkebunan dan persawahan,yang kita kenal dengan parohan sawah atau ladang. Sistem paroan sawah ini biasa kita sebut dalam istilah fiqh yaitu musaqoh, muzara’ah, dan mukhobarah.
Hal ini muncul karena beberapa sebab, diantaranya yaitu banyaknya masyarakat yang memiliki kebun tapi tidak bisa mengolah, begitupun sebaliknya ada yang tidak punya sawah tapi ia sanggup mengolah ladang. Dari hal ini akhirnya keduanya muncul kerjasama yang mana pemilik lahan memberikan lahannya kepada tukang kebun untuk mengolah, lalu hasilnya dibagi dua sesuai dengan akad yang telah disepakati.
Namun, dalam pelakasanaan musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dan perselisihan antar pihak yang terkait. Meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, untuk menambah wawasan kita dalam menyikapi terjadinya kesalahpahaman dan persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan hal tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian musaqoh, dan bagaimana rukun,syarat dan hukum-hukumnya?
2. Apa pengertian muzara’ah, dan bagaimana rukun,syarat dan hokum-hukumnya?
3. Apa pengertian mukhobarah, dan bagaimana rukun,syarat dan hokum-hukumnya?
1.3 Tujuan makalah
1. Untuk mengetahui pengertian musaqoh, rukun-rukun dan syarat serta hukum-hukumnya.
2. Untuk mengetahui pengertian muzara’ah, rukun-rukun dan syarat serta hukum-hukumnya.
3. Untuk mengetahui pengertian mukhobarah, rukun-rukun dan syarat serta hukum-hukumnya.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Musaqah
2.1.1 Definisi al-Musaqah
Secara bahasa, al-musaqah adalah bentuk masdar al-mufaa’ah dari asal kata “as-Saqyu.” Ulama madinah menyebutnya dengan nama al-mu’aamalah, namun bentuk masdar mufaa’alah lebih diutamakan untuk digunakan, karena unsur yang dominan di dalam akad al-musaaqah adalah as-Saqyu (penyiraman atau pengairan).
Sedangkan secara syara’ adalah, al-musaaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemarahan pepohonan kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohonan yang didapatkan. Atau dengan kata lain, dengan memasrahkan pohon kepada seseorang untuk ia rawat dan kelola dengan upah sebagaian tertentu dari buah yang dihasilkan.
Menurut ulama Syafi’iyah, al-musaqah adalah mempekerjakan seseorang untuk menyirami dan merawat pohon kurma atau pohon anggur saja dengan kesepakatan bahwa hasil buhnya untuk mereka berdua.
2.1.2 Rukun-Rukun Al-Musaqah Menurut Jumhur
Ulama Syafi’iyah, juga ulama Hanabilah dan ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa rukun al-Musaqah ada lima, yaitu, kedua belah pihak yang melakukan akad, sesuatu yang menjadi sasaran pekerjaan al-Musaaqah, buah, pekerjaan pihak penggarap, dan yang kelima adalah, sighat (ijab Kabul).
a. Kedua belah pihak melakukan akad
Orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan pentasharufan atas nama diri sendiri (yaitu berakal dan baligh) boleh melakukan akad al-Musaaqah. Karena al-Musaaqafah adalah sebuah akad mu’aawadhah (pertukaran timbal balik) atau mu’amalah atas suatu harta, seperti akad al-Mudhaarabah. Maka oleh karena itu, di dalamnya dituntut orang yang melakukannyya harus harus memiliki kewenangan dan kelayakan (al-Ahliyyah), sama seperti jual beli. Jika ada seorang anak kecil, orang gila atau orang safih memiliki suatu kebun. Sementara kemaslahatan dan kebaikan orang yang bersangkutan menghendaki dilakukannya al-Musaaqah, karena memang dibutuhkan, maka pihak wali yang melakukan akad al-Musaaqah itu atas nama si anak, atausi orang gila, atau si safih tersebut, berdasarkan statusnya yang menjadi wali mereka.
b. Sasaran atau obyek al-Musaaqah
Menurut ulama Syafi’iyyah adalah pohon kurma dan pohon anggur saja. Sedangkan menurut ulama Hanabilah, adalah setiap pohon berbuah yang berbuah yang dimakan, yang ditanam dan diketahui oleh pihak penggarap mana saja pohonnya, dan ia melakukan hal-hal yang dibutuhkan oleh pepohonan tersebut dengan upah sebagian dari kesseluruhan buah yang dihasilkan (musyaa’) yang kadarnya ditentukan, sebagaimana yang telah kami jelaskan dibagian terdahulu. Akad al-Musaaqah tidak boleh kecuali terhadap pohon yang diketahui dengan jelas. Jika pohom yang menjadi sasaran menjadi sasaran al-Musaaqah tidak diketahui dengan jelas dan pasti, maka akad tidak sah.
c. Buah
Disyaratkan buah yang dihasilkan adalah khusus untuk kedua belah pihak, tidak boleh ada sebagainya yang dikhususkan untuk orang luar selain mereka berdua. Disyaratkan juga bahwa hasil buahnya adalah musytarak di antara mereka berdua (milik mereka berdua), maka oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan bahwa keseluruhan hasil buahnya adalah untuk salah satu pihak saja. Disyaratkan juga, bagian masing-masing harus diketahui dan ditentukan secara musyaa’ (dari keseluruhan hasil buah yang ada, seperti sepertiganya, seperempatnya), sama seperti akad al-Mudharabah. Pendapat yang lebih kuat menurut ulama Syafi’iyah dan ini juga merupakan pendapat ulama Hanabilah adalah, bahwa melakukan akad al-Musaaqah setelah pohon yang ada tampak buahnya (seperti sudah memunculkan buah muda) adalah sah, akan tetapi dengan syarat belum tua (buduwwah shaalah).
d. Pekerjaan
Di dalam al-Musaaqah, disyaratkan bahwa pekerjaan yang ada hanya dilakukan oleh pihak penggarap dan kebun yang ada dipasrahkan semuanya tanpa ada campur tangan sedikitpun daari pihak pemilik (at-Takhliyah), supaya ia bias bekerja kapan pun ia mau. Maka jika seandainya ada ketentuan pihak pihak pemilik pohon ikut bekerja bersama pihak penggarap, atau kebunnya masih dibawak kewenangan pemiliknya atau dibawah kewenangan kedua belah pihak, maka akad itu tidak sah.
e. Sighat (ijab qabul)
Yaitu seperti ijab pemilik kebun berkata kepada pihak penggarap,”Aku mengadakan akad al-Musaaqah denganmu atas kkebun kurma ini dengan upah sepertiga atau seperempat dari buah yang dihasilkannya,” atau,”Aku serahkan kebun kurma ini kepadamu supaya kamu sirami dan rawat, atau, bekerjalah menyirami dan merawat kebun kurma ini dengan upah sekian dari buah yang dihasilkannya.”
Menurut ulama Syafi’iyah, qabul di dalam akad al-Musaaqafah harus diungkapkan secara lisan bagi orang yang bisa berbicara. Karena akad al-Musaaqafah adalah akad yang berlaku laazim (mengikat) seperti ijarah dan yang lainnya. Adapun jika orang yang bersasngkutan adalah orang bisu, maka qabulnya boleh dengan menggunakan bahasa isyarat yang bias dipahami, seperti dengan lewat tulisan.
2.1.3 Syarat-Syarat al-Musaqah
a. Kelayakan dan keputusan kedua belah pihak untuk melakukan akad, yaitu mereka berdua harus berakal. Maka oleh karena itu, akad orang yang tidak berakal tidak sah. Maksud tidak berakal disini adalah tidak mumayyiz. Adapun baligh, maka menurut ulama Hanafiyah, tidak termasuk syarat. Serdangkan menurut para imam yang lain, baligh termasuk salah satu syarat.
b. Sesuatu yang menjadi lahan atau sasaran al-Musaaqah, yaiitu ppohon bebuah. Pohon yang menjadi sasaran atau obyek pekerjaan pihak penggarap harus diketahui dan ditentukan.
c. Pemasrahan pohon kepada pihak penggarap secara penuh, atau yang disebut at-Takhliyah. Maka, jika ada suatu ketentuan bahwa pekerjaan yang ada menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, maka al-Musaaqah itu tidak sah. Karen tidak memenuhi unsur at-Takhliyah.
d. Hasil buah yang didapatkan secara umum adalah milik kedua belah pihak atau syarikah, tidak boleh ada bagian tertentu dari buah suatu pohon yang ada dikhususkan untuk salah satu pihak, tidak boleh ada ketentuan bahwa buah yang dihasilkan adalah untuk salah satu pihak saja. Syaratnya juga adalah bahwa bagian atau jatuh masing-masing dari kedua belah pihak adalah sebagian dari keseluruhan buah yang dihasilkan atau yang dikenal dengan istilah musyaa’ dan harus diketahui kadarnya, tidak boleh ditentukan bahwa bagian salah satu pihak adalah buah yang dihasilkan oleh sebagian pohon tertentu misalnya (dan tidak boleh ditentukan dengan takaran atau timbangan, akan tetapi dengan ukuran seperempat, sepertiga, setengah atau sebagainya), jika kadar bagian masing-masing tidak diketahui, maka al-Musaaqah tidak sah.
2.1.4 Dasar Hukum al-Musaaqah
Apabila akad al-Musaaqah telah memenuhi semua sryarat-syaratnya, maka akad al-Musaaqah itu sah. Namun apabila ada salah satu ayarat yang tidak terpenuhi, maka akad al-Musaaqah itu berarti rusak atau tidak sah.[1]
a. Hukum al-Musaqah yang sah
Alasan membolehkan Musaqah ini, yaitu apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Umar r.a bahwa:
“Pernah Rasulullah saw memberi (penduduk) kaibar sebagian daripada apa yang dihasilkan perkebunannya dari buah-buahan dan sayur-sayuran.”
Dan di dalam riwayat lain:
“Rasulullah saw telah menyerahkan kepada kaum Yahudi Khaibar pepohonan dan perkebunan Khaibar dengan syarat mereka mengerjakannya dengan harta mereka, dan diberikan setengah hasilnya kepada Rasulullah saw.”[2]
b. Hukum-hukum al-Musaaqah yang sah menurut ulama Hanafiyah adalah seperti berikut:
1. Semua yang masuk cakupan pekerjaan al-Musaqah yang diutuhkan oleh pohon atau kebun yang menjadi sssaran al-Musaqah, seperti menyirami, merawat, menjaga, memperbaiki saluran airnya, menyerbukkan, maka semua itu adalah menjadi tanggung jawab pihak penggarap. Karena semua itu adalah konsekuensi akad atau hal-hal yang mengikuti al-Maa’qud ‘alaih (objek akad).Sedangkan hal-hal yang dibutuhkan oleh pohon dan termasuk kategori “nafkah” pohon, seperti pemupukan, pencangkulan tanah, dan pemenenan atau pemetikan buah, maka itu menjadi tanggung jawab kedua belah pihak sesuai dengan kadar bagian yang telah didapatkan oleh masing-masing. Karena akad al-Musaqah tidak mencakup hal-hal seperti itu.
2. Buah yang dihasilkan adalah dibagi diantara kedua belah pihak sesuai dengan kadar masing-masing yang telah disepekati.
3. Jika ternyata pohon yang ada tidak berbuah, maka kedua belah pihak sama-sama tidak mendapatkan apa-apa dan tidak ada salah satu pihak yang harus member ganti rugi atau kompensasi kepada pihak yang lain.
4. Akad al-Musaqah berlaku laazim (mengikat) bagi kedua belah pihak, maka oleh karena itu, salah satu pihak tidak boleh bersikap enggan untuk merealisasikan akad yang telah dibuat, bersikap enggan melakukan tugas dan kewajibannya, dan tidak bias membatalkan akad secar asepihak tanpa persetujuan dan kerelaan pihak yang lain, kecuali karena ada udzur atau alas an yang bisa diterima.
5. Pemilik kebun berhak memaksa pihak penggarap untuk melakukan pekerjaannya kecuali karena ada udzur atau alasan yang bias diterima.
6. Boleh dilakukan penambahan atau pengurangan dari kadar bagian yang sebelumnya telah disepakati, yaitu,” Setiap keadaan dimana dimu gkinkan untuk memunculkan akad, mka bias dilakukan penambahan, jika tidak, maka tidak bias silakukan penambahan. Sedangkan untuk masalah pengurangan, maka bias dilakukan pada kedua keadaan tersebut.”
7. Pihak penggarap tidak boleh melemparkan akad al-Musaaqah yang telah ia buat kepada ornag lain, kecuali jika pemilik kebun memasrahkan masalah pengerjaan kebunnya kepadanya sesuai dengan keinginannya, seperti pemilik kebun berkata kepadanya,” Uruslah kebunku sesuai dengan pandangan dan kebijaksanaanmu.”
c. Hukum-hukum al-Musaaqah yang sah menurut ulama Malikiyah
Dalam kaitannya dengan akad al-Musaaqah, ulama Malikiyah mengatakan, bahwa pekerjaan yang terkait dengan kebun yang pohonnya menjadi objek al-Musaaqah ada tiga macam:
1. Pekerjaan yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan buah pohon tersebut. Pekerjaan seperti ini tidak mejadi kewajiban dan tanggung jawab pihak penggarap, juga tidak boleh di dalam akad al-Musaaqah yang dibuat terdapat ketektunan ia harus melakukannya.
2. Pekerjaan yang ada kaitannya dengan buah pohon kebun tersebut dan apa yang dikerjakan itu masih ada wujudnya setelah selesai, seperti membuat sumur, menggali sumberr air atau membuat parit, juga seperti membangun tempat untuk menyimpan buah, atau menanam pohon. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini juga bukan menjadi tugas dan kewajiban pihak penggarap dalam akad al-Musaaqah, juga tidak boleh ada ketentuan dalam akad al-Musaaqah bahwa ia harus mengerjakannya.
3. Pekerjaan yang berkaitan dengan buah pohon tersebut namun apa yang dikerjakan itu tidak meninggalkan bekas yang masih ada wujudnya, maka pekerjaan jenis inilah yang menjadi tuga sdan kewajiban pihak penggarap dalam al-Musaaqah, seperti pemangkasan, pemanenan dan penyiraman.
Adapun kaitannya dengan hak-hak penggarap, maka ia berhak mendapatkan sebagian dari buah yang dihasilkan, seperti sepertiga, setengah atau lain sebagainya sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Jika pohon yang ada ternyata tidak berbuah , maka kedua belah pihak tidak mendapatkan apa-apa dan tidak ada salah satu pihak yang berkeharusan member ganti rugi atau kompensasi kepada pihak yang lain. Karena tidak berbuahnya suatu pohon adalah disebabkan factor alam, bukan karena sebab rusak dan tidak sahnya akad.
Tidak boleh ada salah satu pihak yang mensyaratkan bahwa dirinya harus mendapatkan kemanfaatan tambahan seperti sejumlah uang misalnya.
d. Hukum-hukum al-Musaaqah yang rusak atau tidak sah
Akad al-Musaaqah menjadi rusak atau tidak sah apabila ada salah satu syarat yang ditetapkan secara syara’ tidak terpenuhi. Menurut ulama Hanafiyyah, bebrapa bentuk akad al-Musaaqah yang rusak dan tidak sah antara lain sebagai berikut:
1. Adanya ketentuan bahwa buah yang dihasilkan keseluruhannya adalah untuk salah satu pihak, karena hal ini berarti tidak terpenuhinya unsure syarikah (hak milik bersama) di dalamnya.
2. Adanya ketentuan bahwa bagian tertentu dari buah yang ada seperti setengah kwintalnya misalnya adalah untuk salah satu pihak, atau ada ketentuan untuk salah satu pihak mendapatkan sesuatu tertentu selain dari buah yang dihasilkan, seperti sejumlah uang misalnya. Karena al-Musaaqah adalah syarikah (joinan) di dalam buah yang dihasilkan saja.
3. Ada ketentuan pihak pemilik kebun ikut bekerja, karena di dalam al-Musaaqah harus ada at-Takhliyah atau pemsrahan penuh pekerjaan yang ada kepada pihak penggarap, dan tugas atau peran dasar pihak penggarap di dalam akad al-Musaaqah adalah bekerja.
4. Ada ketentuan bahawa pemetikan atau pemanenan buah menjadi tugas pihak penggarap. Karena menurut ulama Hanafiyyah, pemetikan atau pemnenan buah sama sekali bukan termasuk di dalam akad kerja al-Musaaqah.
5. Ada ketentuan bahwa membawa, menjaga dan merawat buah setelah dibagi adalah tugas pihak penggarap. Karena semua itu bukan termasuk dalam tuntutan akad dan bukan pula termasuk pekerjaan di dalam al-Musaaqah.
6. Ada ketentuan pihak penggarap harus melakukan hal-hal yang kemanfaatannya masih berlangsung setelah selesainya masa akad al-Musaaqah, seperti menanam pepohonannya, mencangkuli tanah, membuat andang-andang dan lain sebagainya.
7. Jangka waktu yang disepakati adalah jangka waktu dimana di dalamnya pohon yang ada biasanya tidak berbuah, karena hal itu merugikan pihak penggarap dan tidak bisa tercapainya maksud dan tujuan dari akad al-Musaaqah, yaitu sama-sama mendapakan buah yang dihasilkan.[3]
2.2 MUZARA’AH
2.2.1 Pengertian Muzara’ah
Secara etimologi Al Muzara’ah memiliki 2 arti, yang pertama Al Muzara’ah yang berarti tharh al zur’ah ( melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.
Sedangkan secara terminologi, Muzara’ah memiliki beberapa definisi. Ada beberapa ulama’ yang mengemukakan pendapatnya tentang pengertian Muzara’ah, diantaranya:
1. Menurut Hanafiyah
Muzara’ah ialah:
عَقْدٌ عَلَى الزَّرْعِ بِبَعْضِ الْ خَارِجِ مِنَ الآَرْضِ
“ Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
2. Menurut Hanabilah
Muzara’ah ialah:
عَنْ يَدْفَعَ صَاحِبُ الأَرْضِ الصَّا لِحَةِ الْمُزَارَعَةِ أرْضَهُ لِلْعَامِلِ الَّذِىْ يَقَوْمُ يِزَرْعِهَا وض بَدْفَعُ لَهُ الْحُبَّ
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”
3. Menurut Malikiyah
Muzara’ah ialah:
الشَرْكَةُ فِى الْعَقدِ
“Bersekutu dalam akad”.
Dari pengertian ini, dijelaskan bahawa Muzara’ah berarti menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
4. Menurut Dhahir Nash, As Syafi’I berpendapat bahwa Muzara’ah ialah
اِكْتِرَاءَ الْعَامِلِ لِيَزْرَعَ الأَرْضَ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا
“ Seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut.”
5. Syaikh Ibrahim Al Bajuri berpendapat bahwa Muzara’ah ialah:
عَمَلُ الْعَا مِلِ فِى الأَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَالْبَذْرُ مِنَ الْمَالِكَ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.”[4]
Dari beberapa definisi diatas, maka Muzara’ah bisa diartikan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap).[5]
2.2.2 Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah akad, yaitu ijab dan Kabul antara pemilik dan pekerja. Secara rinci, jumlah rukun-rukun Muzara’ah menurut Hanafiyah ada 4, yaitu:
1. Tanah
2. Perbuatan pekerja
3. Modal
4. Alat-alat untuk menanam.
Syarat-syaratnya ialah sebagai berikut:
1. Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
2. Syarat yang bertalian dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3. Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a. Bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya ketika akad)
b. Hasil adalah milik bersama.
c. Bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, misalnya dari kapas, bila Malik bagiannya padi kemudian Amil bagiannya singkong, maka hal itu tidak sah.
d. Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui
e. Tidak disyaratkan bagi salah satu nya penambahan yang ma’lum.
4. Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu:
a. Tanah tersebut dapat ditanami
b. Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
5. Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya:
a. Waktunya telah ditentukan
b. Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4 bulan ( tergantung tekhnologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan setempat)
c. Waktu tersebut memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.
6. Hal yang berkaitan dengan alat-alat Muzara’ah, alat-alat tersebut disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
Sedangkan menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan Kabul, boleh dilakukan dengan lafadz apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan Kabul dan bahkan Muzara’ah sah dilafadzkan dengan lafadz ijarah.[6]
2.2.3 Dasar Hukum Muzara’ah
Kerjasama dalam bentuk muzara’ah menurut kebanyakan ulama hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu, di samping dapat dipahami dari umummnya firman Allah yang menyuruh bertolong-tolongan, juga secara khusus dari hadits Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan:
“Bahwasannya Rasul Allah SAW memperkerjakan penduduk Khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”
Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerjasama, bukan upah mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah dengan pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam akad upah mengupah (ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil yang belum pasti. Ulama yang mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah adalah Abu Hanifah dan Zufar, menurutnya hadist yang menjelaskan muamalah yang dilakukan Nabi dengan penduduk Khaibar sebenarnya bukan merupakan kerjasama dengan menggunakan akad muzara’ah melainkan kharaj musaqamah, yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa prosentase tertentu dari hasil bumi.
2.2.4 Zakat dan Hikmah Muzara’ah
Pada prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam, sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Hikmah Muzara’ah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
2.3 MUKHABARAH
2.3.1 Definsi Mukhabarah
Mukhabarah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati.
Menurut ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”
2.3.2 Dasar Hukum Mukhabarah
Sebagian ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadis yang melarang paroan tersebut . Hal itu ada dalam kitab hadis Bukhari dan Muslim diantaranya:
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيْجِ قَالَ كُنَّااَكْثَرَاْلاَنْصَارِ حَقْلاً فَكُنَّا نُكْرِىاْلاَرْضَ عَلَى اَنَّ لَنَا هَذِهِ فَرُبَمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ هَذِهِ فَنَهَانَاعَنْ ذَلِكَ
Rafi’ bin Khadij berkata “diantara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami, dan sebagian untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil, oleh karena itu Rasulullah Saw melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari)
Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Munzir, dan Khattabi mereka mengambil hadis Ibnu Umar:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ
(رواه مسلم)
Dari Ibnu Umar, “sesungguhnya nabi Saw telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar, agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan ataupun hasil pertahun (palawija)” (Riwayat Muslim)
Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya “apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.[7]
2.3.3 Rukun dan Syarat Mukhabarah
Ä Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
1) Pemilik tanah ;
2) Petani/Penggarap;
3) Obyek mukhabarah
4) Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Ä Syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a. Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b. Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c. Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
d. Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
e. Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.[8]
2.3.4 Zakat dan Hikmah Mukhabarah
Dalam mukhabarah, yang wajib zakat adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya, maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah mencapai nishab, sebelum pendapatan dibagi dua.
Adapun hikmah Mukhabarah antara lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan, terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki tanah garapan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. al-musaaqah adalah suatu kesepakatan atau kontrak kerja berupa pemarahan pepohonan kepada seorang untuk ia sirami dan rawat sedangkan hasil buahnya dibagi antara kedua belah pihak. Atau dengan kata lain, sebuah kontrak kerja dengan upah sebagian dari hasil pepohonan yang didapatkan. Rukun musaqah, yaitu: Kedua belah pihak melakukan akad, Sasaran atau obyek al-Musaaqah,Buah,Pekerjaan,Sighat (ijab qabul)
2. Muzara’ah bisa diartikan paroan sawah atau ladang, seperdua, sepertiga, atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari petani (orang yang menggarap). Rukun muzara’ah, yaitu: Tanah, Perbuatan pekerja, Modal,Alat-alat untuk menanam. Hikmah Muzara’ah antara lain: Terwujudnya kerja sama yang saling menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Tertanggulanginya kemiskinan.
3. Mukhabarah adalah kerjasama di bidang pertanian antara pemilik sawah/ ladang dengan penggarap dengan benih tanaman dan biaya garapan dari pihak pemilik sawah. Hasilnya menjadi milik kedua belah pihak dengan pembagian berdasarkan persentase yang telah disepakati. Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain: Pemilik tanah ; Petani/Penggarap; Obyek mukhabarah; Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Az Zuhaili, Wahbah. 2011. FIQIH ISLAM WA ADILATUHU, Jakarta: Gema Insani
Rasjid, Sulaiman. 2010. FIQIH ISLAM. Bandung: PT Sinar Baru Algrensindo.
Abu Bakar, Imam Taqiyuddin. 2007. KHIFAYATUL AKHYAR. Surabaya: Bina Iman.
Nawawi, Ismail. 2012. Fiqih Muamalah dan Kontemporer. Bogor: Galia Indonesia
[1] Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, FIQIH ISLAM A ADILATUHU, Jakarta: Gema Insani, th 2011 hal 581-587
[2] Imam Taqiyuddin Abubakar bin Muhammad Ahusaini, KHIFAYATUL AKHYAR, Surabaya: Bina Iman, hal 689
[3] Prof. DR. Wahbah Az-Zuhaili, Obsit. hal 589-682
[4] Dr. H. Hendi Suhendi, M. Si, Fiqh Mu’amalah, 2010, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hlm: 153-155.
[5] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, 2010,Bandung: Sinar Baru Algesindo,Hlm: 301.
[6] Dr. H. Hendi Suhendi, M. Si, Op.cid. Hlm: 158-159.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, 2010,Bandung: Sinar Baru Algesindo,Hlm: 302.
[8] H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer.2012. Bogor: Ghalia Indonesia,Hlm:162-164.
Labels:
fiqh 2,
semester 5
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar