4 Prinsip Dalam Akidah Islam

Posted by Rumah Subsidi Malang

Sudah selayaknya setiap muslim dan muslimah untuk membaca risalah ini. Berikut ini redaksi tampilkan terjemah dari risalah beliau tersebut. Semoga bermanfaat.
EMPAT KAIDAH POKOK 
Aku memohon kepada Allāh Al Karīm Rabb pemilik Arsy yang agung, semoga Dia melindungimu di dunia dan di akhirat. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu diberkahi di manapun kamu berada. Aku juga memohon kepada-Nya supaya menjadikan dirimu termasuk di antara orang-orang yang bersyukur apabila diberi kenikmatan, bersabar ketika tertimpa cobaan, dan meminta ampunan tatkala terjerumus dalam perbuatan dosa, karena ketiga hal itulah tonggak kebahagiaan.
Ketahuilah, (semoga Allāh membimbingmu untuk taat kepada-Nya) Al anifiyah, yaitu agama yang diajarkan oleh Ibrahim, ialah beribadah kepada Allāh semata dengan mengikhlaskan agama (amal) untuk-Nya. Itulah perintah yang Allāh berikan kepada segenap umat manusia dan hikmah penciptaan mereka, sebagaimana dinyatakan oleh firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
 “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat [51] : 56).
Apabila kamu telah menyadari bahwa kamu diciptakan untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa sesungguhnya suatu ibadah tidaklah dianggap bernilai ibadah kecuali apabila disertai dengan tauhid, sebagaimana halnya ṣalāt yang tidak bisa disebut ṣalāt apabila tidak disertai dengan ṭaharah (keadaan suci pada diri pelakunya, pen).
Maka, apabila syirik menyusupi suatu ibadah, niscaya ibadah itu menjadi rusak, sebagaimana apabila ada ḥadaṡ yang muncul pada diri orang yang sudah bersuci (akan merusak kesucian tersebut-ed).
Apabila kamu sudah mengerti ternyata syirik itu apabila menyusupi ibadah akan menghancurkan ibadah tersebut dan menghapuskan amal, bahkan orang yang melakukannya menjadi tergolong penghuni kekal neraka, kini kamu pun telah mengerti bahwa perkara terpenting bagimu adalah memahami seluk beluknya. Mudah-mudahan Allāh menyelamatkan dirimu dari jebakan perangkap ini; yaitu kesyirikan terhadap Allāh.
Allāh ta’ālā berfirman tentang syirik ini (yang artinya),
Sesungguhnya Allāh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik yaitu bagi orang-orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisaa’ [4] : 48).
Hal itu akan mudah kamu mengerti dengan mempelajari empat buah kaidah yang disebutkan oleh Allāh ta’ālā di dalam kitab-Nya:

Kaidah Pertama

Hendaknya kamu mengerti bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui Allah ta’ala sebagai pencipta dan pengatur segala urusan. Sedangkan pengakuan mereka ini tidaklah membuat mereka tergolong orang Islam.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya),
“Katakanlah, Siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi. Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan. Dan siapakah yang mampu mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta mengeluarkan yang mati dari yang hidup. Dan siapakah yang mengatur segala urusan, maka pasti mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Lantas mengapa kalian tidak mau bertakwa?’.” (QS. Yunus [10] : 31).

Kaidah Kedua

Orang-orang musyrik tersebut mengatakan, “Kami tidaklah berdoa kepada mereka (sesembahan selain Allāh, pen) dan bertawajjuh (menggantungkan harapan) kepada mereka melainkan hanya dalam rangka mencari kedekatan diri (di sisi Allāh, pen) dan untuk mendapatkan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan bahwa mereka bertujuan mencari kedekatan diri adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
Dan orang-orang yang mengangkat selain-Nya sebagai penolong (sesembahan, pen) beralasan, ‘Kami tidaklah beribadah kepada mereka kecuali karena bermaksud agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allāh sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allāh pasti akan memberikan keputusan di antara mereka terhadap perkara yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allāh tidak akan memberikan petunjuk kepada orang yang gemar berdusta dan suka berbuat kekafiran.” (QS. Az Zumar [39] : 3).
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa mereka juga mengharapkan syafaat dengan kesyirikan yang mereka perbuat adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
“Dan mereka beribadah kepada selain Allāh; sesuatu yang sama sekali tidak mendatangkan bahaya untuk mereka dan tidak pula menguasai manfaat bagi mereka. Orang-orang itu beralasan, ‘Mereka adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allāh kelak.’.”(QS. Yunus [10] : 18).
Syafa’at ada dua macam :
Syafa’at yang ditolak dan syafa’at yang ditetapkan
  • Syafa’at yang ditolak adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allāh dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allāh. Dalil tentang hal ini adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian rezeki yang Kami berikan kepada kalian sebelum tiba suatu hari yang pada saat itu tidak ada lagi jual beli, persahabatan, dan syafa’at. Sedangkan orang-orang kafir, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah [2] : 254).
  • Syafa’at yang ditetapkan adalah syafa’at yang diminta kepada Allāh. Orang yang diperkenankan memberikan syafa’at berarti mendapatkan pemuliaan dari Allāh dengan syafa’at tersebut. Adapun orang yang akan diberi syafa’at adalah orang yang ucapan dan perbuatannya diridhai Allāh, dan hal itu akan terjadi setelah mendapatkan izin (dari Allāh, pen). Hal ini sebagaimana difirmankan Allāh ta’ālā (yang artinya), “Lalu siapakah yang bisa memberikan syafa’at di sisi-Nya kecuali dengan izin-Nya?”. (QS. Al Baqarah [2] : 255).

Kaidah Ketiga

Nabi allallāhu ‘alaihi wa sallam muncul di tengah-tengah masyarakat yang memiliki peribadatan yang beraneka ragam.
Di antara mereka ada yang beribadah kepada malaikat. Ada pula yang beribadah kepada para nabi dan orang-orang ṣālih.
Ada juga di antara mereka yang beribadah kepada pohon dan batu, ada pula yang beribadah kepada matahari dan bulan.
Mereka semua sama-sama diperangi oleh Rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam tanpa sedikitpun membeda-bedakan di antara mereka.
Dalil tentang hal ini adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
Dan perangilah mereka semua hingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan agama (amal) semuanya hanya diperuntukkan kepada Allāh.” (QS. Al Anfaal [8] : 39).
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada matahari dan bulan adalah firman-Nya (yang artinya),
“Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kamu sujud kepada matahari ataupun bulan. Akan tetapi sujudlah kamu kepada Allāh yang menciptakan itu semua, jika kamu benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat [41] : 37).
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para malaikat adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
“Dan Allāh tidak menyuruh kamu untuk mengangkat para malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan.” (QS. Al ‘Imran [3] : 80).
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada para nabi adalah firman-Nya (yang artinya),
“Ingatlah ketika Allāh berfirman, ‘Wahai Isa putera Maryam, apakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sosok sesembahan selain Allāh’? Maka Isa berkata, ‘Maha Suci Engkau ya Allāh, tidak pantas bagiku untuk berucap sesuatu yang bukan menjadi hakku. Apabila aku mengucapkannya tentunya Engkau pasti mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, dan aku sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di dalam diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang gaib.’.” (QS. Al Mā`idah [5] : 116).
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada orang-orang ṣālih adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya),
“Sosok-sosok yang mereka seru justru mencari wasilah kepada Rabb mereka; siapakah di antara mereka yang lebih dekat, dan mereka juga sangat mengharapkan curahan rahmat-Nya dan merasa takut dari azab-Nya.” (QS. Al Isrā` [17] : 57).
Dalil yang menunjukkan adanya peribadatan kepada pohon dan batu adalah firman-Nya Yang Maha Tinggi (yang artinya),
“Kabarkanlah kepada-Ku tentang Latta, ‘Uzza, dan juga Manat yaitu sesembahan lain yang ketiga.” (QS. An Najm [53] : 19-20).
Demikian juga, ditunjukkan oleh ḥadīṡ Abū Waqid Al Laii raiyallāhu’anhu. Beliau menuturkan,
“Ketika kami berangkat bersama Rasulullāh allallāhu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain. Ketika itu kami masih dalam keadaan baru keluar dari agama kekafiran. Orang-orang musyrik ketika itu memiliki sebatang pohon yang mereka jadikan sebagai tempat i’tikaf dan tempat khusus untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut Żātu Anwā. Ketika itu, kami melewati pohon tersebut. Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami sebatang Żātu Anwāṭ sepertiŻātu Anwāṭ yang mereka miliki.’.” (HR. Tirmiżi [2181], Amad dalam Musnadnya [5/218]. Tirmiżi mengatakan : adīasan aī).

Kaidah Keempat

Orang-orang musyrik pada masa kita justru lebih parah kesyirikannya daripada orang-orang musyrik zaman dahulu.
Sebab, orang-orang terdahulu hanya berbuat syirik di kala lapang dan beribadah (berdoa) dengan ikhlas di kala sempit.
Adapun orang-orang musyrik di masa kita melakukan syirik secara terus menerus; baik ketika lapang ataupun ketika terjepit.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman Allāh ta’ālā (yang artinya),
“Apabila mereka sudah naik di atas kapal (dan diterpa ombak yang hebat, pen) maka mereka pun menyeru (berdoa) kepada Allāh dengan penuh ikhlas mempersembahkan amalnya. Namun setelah Allāh selamatkan mereka ke daratan, tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (QS. Al ‘Ankabūt [29] : 65).
Selesai, semoga ṣalawāt dan doa keselamatan senantiasa tercurah kepada Muḥammad, segenap pengikutnya, dan terutama para sahabatnya.
Diterjemahkan dari Majmu’atu Tauīd, hlm. 7-13

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar