Home » semester 6 » Perkembangan Jiwa agama Pada Anak
Perkembangan Jiwa agama Pada Anak
Posted by Rumah Subsidi Malang
BAB I
PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA ANAK
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis, walaupun dalam keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang tersembunyi. Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pendidikan yang baik sejak usia dini.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Salah satu kelebihan manusia sebagai makhluk Allah swt adalah dianugerahi fitrah (potensi) untuk mengenal Allah swt dan melakukan ajaran-Nya. Dalam kata lain, manusia dikaruniani insting religius (naluri keagamaan). Fitrah agama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenal arah dan kualitas perkembangan anak sangat tergantung kepada proses pembinaan dan pendidikan yang diterimanya maupun lingkungan pergaulan serta pengalaman hidup yang dilaluinya.
Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena orangtuanyalah, anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Hadis ini mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan dan pendidikan, terutama orang tua, sangat berperan dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak.
Dalam makalah ini akan membahas tentang tahapan pertumbuhan dan perkembangan jiwa keagamaan pada anak.
2. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, maka penulis dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan Perkembangan Jiwa Agama pada Anak?
b. Bagaimana tahap-tahap Perkembangan Jiwa Agama pada Anak?
c. Apa saja pendekatan dalam membina Jiwa Agama pada Anak?
3. Tujuan
Berangkat dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut :
a. Menjelaskan dan mengkaji tentang Perkembangan Jiwa pada Anak
b. Memaparkan dan mendeskripsikan tahap-tahap yang dialami seorang anak dalam Perkembangan Jiwa Agama Pada Anak
c. Menyebutkan dan menjelaskan berbagai pendekatan dalam upaya pembinaan Jiwa Agama pada Anak.
maaf mengenai ayat belum saya perbaiki..
B. PEMBAHASAN
1. Perkembangan Jiwa Agama pada Anak
1.1 Fitrah Beragama Anak
Fitrah beragama dalam diri setiap anak merupakan naluri yang menggerakkan hatinya untuk melakukan perbuatan “suci” yang diilhami Allah swt . Fitrah manusia mempunyai sifat suci, yang dengan nalurinya tersebut ia secara terbuka menerima kehadiran Allah swt. Hal itu sebagaimana dijelaskan dal al-Qur’an.
•• ••
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui . (Q.S. Ar-Rum:30)
Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan. Jelaslah, secara naluri anak manusia memiliki kesiapan untuk mengenal dan meyakini adanya Tuhan. Dengan kata lain, pengetahuan dan pengakuan terhadap Allah swt sebenarnya telah tertanam secara kokoh dalam fitrah manusia. Namun perbaduan dengan jasad telah membuat berbagai kesibukan manusia untuk memenuhi berbagi tuntutan dan berbagai godaan serta tipu daya duniawi yang lain telah membuat pengetahuan dan pengakuan tersebut kadang-kadang terlengahkan, bahkan ada yang berbalik mengabaikan.
Pada dasarnya fitrah adalah potensi dasar manusia yang bersifat suci, namun kesuciannya tersebut perlu dijaga dan dikembangkan melalui pola pengasuh, pembinaan, pendidikan dan pergaulan yang baik.
1.2 Perkembangan Jiwa Anak
Dalam ilmu jiwa perkembangan ada beberapa pembagian masa hidup anak, yang disebut sebagai fase atau perkembangan. Menurut Elizabeth B. Hurlock, tahap perkembangan kehidupan manusia dibagi menjadi lima periode , yaitu
a. Masa pranatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
Periode perkembangan yang pertama dalam jangka kehidupan manusia ini yang dinamakan masa prenatal, dimulai pada waktu konsepsi, yaitu pembuahan dari ovum oleh sel sperma, dan berakhir pada waktu pembuahan. Masa ini pada umumnya berlangsung selama 9 bulan kalender ditambah sepuluh hari atau sekitar 280 hari sebelum lahir.
b. Masa neonatus, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
Neonatus adalah masa kehidupan pertama di luar rahim sampai dengan usia 28 hari,dimana terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan didalam rahim menjadidiluar rahim. Pada masa ini terjadi pematangan organ hampir pada semua system. Neonatus mengalami masa perubahan dari kehidupan didalam rahim yang serba tergantung pada ibu menjadi kehidupan diluar rahim yang serba mandiri.
c. Masa bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
Masa bayi adalah dasar periode kehidupan yang sesungguhnya karena pada saat ini banyak pola perilaku, sikap, dan pola ekspresi emosi terbentuk.
d. Masa kanak-kanak awal, umur 2-6 tahun.
Awal masa kanak-kanak merupakan masa pertumbuhan yang relatif seimbang meskipun terdapat perbedaan musim; bulan Juli sampai pertengahan Desember merupakan saat yang terbaik untuk peningkatan berat badan dan April sampai pertengahan Agustus untuk peningkatan tinggi tubuh.
e. Masa kanak-kanak akhir, umur 6-10 tahun atau 11 tahun.
Akhir masa anak-anak merupakan periode pertumbuhan yang lambat dan relatif seragam sampai mulai terjadi perubahan-perubahan pubertas, kira-kira 2 tahun menjelang anak menjadi matang seksual dan pada saat ini perkembangan menjadi peasat, karena itu pada masa ini sering disebut dengan “periode tenang”.
f. Masa pubertas (pra adolescence) umur 11-13 tahun.
g. Masa remaja awal, umur 13-17 tahun. Masa remaja akhir 17-21 tahun.
Masa remaja adalah masa suatu perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis.
h. Masa dewasa awal, umur 21-40 tahun.
Dalam psikologi Islam Dewasa dini disebut juga fase taklif, fase dimana seseorang telah menjadi manusia dewasadan telah dikenai suatu kewajiban sebagai khalifah di bumi, dalam proses menjadi pribadi yang berkualitas.
i. Masa setengah baya, umur 40-60 tahun.
Seperti juga masa puber yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja dan kemudian dewasa, demikian pula usia madya merupakan masa dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki masa suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan prilaku baru. Periode ini merupakan masa dimana pria mengalami perubahan keperkasaan dan wanita dalam kesuburan. Kedua karakteristik tersebut merupakan keadaan mendasar yang terjadi dalam tahap transisi pada manusia, suatu hal yang belum pernah dialami sepanjang hidup akan memunculkan kesan tersendiri bagi individu.
j. Masa tua, umur 60 tahun ke atas.
Pada masa Usia Lanjut (diatas 60 tahun), bersamaan dengan perubahan perubahan (kemunduran-kemunduran) fisik maupun perubahan-perubahan psikis yang dialami individu. Usia Lanjut perlu melakukan usaha-usaha penyesuaian-penyesuaian baru, perubahan kondisi fisik terjadi pada usia lanjut dan sebagian besar perubahan terjadi kearah yang memburuk yang mana proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing, individu yang sama juga terjadi proses dan kecepatan kerusakan yang bervariasi.
Tentang fase-fase perkembangan hidup manusia yang dijelaskan oleh para ahli psikologi ternyata tidak jauh berbeda dengan penjelasan al-Qur’an yang menyatakan tentang rentetan kehidupan manusia di dunia, sebagai berikut:
....
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. (Q.S. al-Hadid :20).
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa rentetan kehidupan dunia ini dimulai dengan masa bermain (0-7 tahun), masa melalikan, senda gurau/banyak bergaul ataupun banyak beraktivitas yang kurang membawa manfaat langsung seperti main kelereng, layang-layang, video game dan sebagainya (7-12 tahun), masa berhias atau puber (13-21 tahun), masa persaingan untuk mendapat jodoh, pekerjaan, ataupun bisnis, kedudukan dan sebagainya yang umumnya disebut masa produktif (21-60 tahun), masa tua yaitu untuk mengenyam dan membanggakan hasil kerjanya maupun keluarganya (60 tahun ke atas) .
Dalam hal ini Comenius lebih menitikberatkan pada aspek pengajaran dari proses pendidikan dan perkembangan anak. Tahun-tahun pertama 0-6 tahun disebut sebagai periode sekolah-ibu, karena hampir semua usaha bimbingan pendidikan (ditambah perawatan dan pemeliharaan) berlangsung di tengah keluarga. Terutama sekali aktivitas ibu sangat menentukan kelancaran proses pertumbuhan dan perkembangan anak.
Usia 6-12 tahun disebut periode sekolah-bahasa-ibu, karena pada periode ini anak baru mampu menghayati setiap pengalaman dengan pengertian bahasa sendiri (bahasa ibu). Bahasa ibu dipakai sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan orang lain. Yaitu untuk mendapatkam impresi dari luar, berupa pengaruh, sugesti serta transmisi kultural (pengoperan nilai-nilai budaya) dari orang dewasa .
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anak pada usia ini membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, dan orang lain yang paling utama dan pertama bertanggung jawab adalah orang tua sendiri. Orang tuanyalah yang bertanggung jawab memperkembangkan keseluruhan eksistensi anak.
1.3 Perkembangan Jiwa Keagamaan Pada Anak
Sebagaimana dijelaskan di atas, yang dimaksud dengan masa anak-anak adalah sebelum berumur 12 tahun. Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, fisik maupun psikis. Walaupun dalam keadaan demikian anak telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten (tersembunyi). Potensi bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang mantap lebih-lebih pada usia dini.
Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya maka seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang dimilikinya , yaitu:
a. Prinsip Biologis
Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Karena bayi masuk dalam lingkungan yang baru yakni, dari kandungan ibu dan kelahiran yang luar biasa itu ditandai dengan sambutan tangis yang keras dari bayi itu . Bayi yang baru lahir segala gerak dan tindak tanduknya selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa disekelilingnya. Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.
b. Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya.
c. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.
Adapun faktor-faktor yang dominan dalam perkembangan jiwa keagamaan pada anak , antara lain :
a. Rasa Ketergantungan
Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori faur Wishes. Menurutnya manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu : keinginan untuk perlindungan, keinginan akan pengalaman baru, keinginan untuk mendapat tanggapan, keinginan untuk dikenal. Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
b. Instink Keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna.
Pada dasarnya potensi keberagaman bagi seorang anak sudah ada semenjak lahir kedunia, ia mempunyai potensi untuk beriman kepada Tuhan. Hanya saja persoalan dalam pengembangan serta pemeliharaan potensi (rasa religious) yang ada pada diri anak, sehingga peran orang tua disini sangat penting dalam mendidik dan mengarahkan keberagaman anak.
Pada umumnya anak sebelum usia 4 tahun, mereka masih belum menyadari tentang agama. Tuhan bagi anak masih dalam fantasi atau gambaran disamakan dengan makhluk lain. Oleh karena itu pengembangan perasaan potensi Ketuhanan anak dapat dimulai sejak sedini mungkin melalui tanggapan, dan bahasa anak.
2. Tahap-tahap Perkembangan Jiwa Agama Pada Anak
Tahap perkembangan jiwa beragama pada anak dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Cerita Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak- kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
2. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan)
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan menggunakan pikiran atau logika.
Pada tahap ini teradapat satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini dan dipukul bila melanggarnya.
3. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi, sejalan dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
b. Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan yang bersifat personal (perorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran agama.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang beragama, hal ini menunjukkan bahwa dorongan keberagamaan merupakan faktor bawaan manusia yang sudah ada sejak lahir, dan sepenuhnya tergantung dari peminaan nilai-nilai agama yang diajarkan oleh orang tuanya. Keluarga adalah pendidikan dasar untuk anak, sedangkan kembaga adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Dengan demikian peran keluarga sangatlah penting dalam pembentukan karakter anak dan memberikan dasar-dasar keberagamaan bagi anak.
Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase perkembangan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis rohani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya.
b. Fase bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Sebagai anak yang berada dalam tahap pemikiran operasional kongkret, maka anak-anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara kongkret. Hal ini juga berpengaruh dengan konsep-konsep keagamaan.
2.1 Sifat-Sifat agama pada anak
Sifat keagamaan pada anak dapat dibagi menjadi enam bagian:
a. Unreflective (kurang mendalam)
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam, cukup sekedarnya saja. Dan mereka merasa puas dengan keterangan yang kadang- kadang kurang masuk akal. Menurut penelitian, pikiran kritis baru muncul pada anak berusia 12 tahun, sejalan dengan perkembangan moral.
b. Egosentris
Sifat egosentris ini berdasarkan hasil ppenelitian Piaget tentang bahasa pada anak berusia 3 – 7 tahun. Dalam hal ini, berbicara bagi anak-anak tidak mempunyai arti seperti orang dewasa.
Pada usia 7 – 9 tahun, doa secara khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak- gerik tertentu, tetapi amat konkret dan pribadi. Pada usia 9 – 12 tahun ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dengan Ilahi mulai tampak. Setelah itu barulah isi doa beralih dari keinginan egosentris menuju masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis.
c. Anthromorphis
Konsep mengenai Ketuhanan pada anakberasal dari hasil pengalamanya dika ia berhubungan dengan orang lain. Tapi semua kenyataan konsep Ketuhanan mereka nampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
d. Verbalis dan Ritualis
Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh dari sebab ucapan (verbal). Mereka menghafal secara verbal kalimat- kalimat keagamaan dan mengerjakan amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman mereka menurut tuntunan yang diajarkan pada mereka. Shalat dan doa yang menarik bagi mereka adalah yang mengandung gerak dan biasa dilakukan (tidak asing baginya).
e. Imitatif
Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak pada dasarnya diperoleh dengan meniru. Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting. Pendidikan sikap religius anak pada dasarnya tidak berbentuk pengajaran, akan tetapi berupa teladan.
f. Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Dan rasa kagum pada anak berbeda dengan rasa kagum pada orang tua, rasa kagum pada anak tidak bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub.
3. pendekatan dalam membina Jiwa Agama pada Anak
Dalam pembinaan agama pada diri pribadi anak sangat diperlukan pembiasaan dan latihan-latihan yang cocok dan yang sesuai dengan perkembangan jiwanya. Karena pembiasaan dan latihan-latihan tersebut akan membentuk sikap tertentu pada anak, yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat, akhirnya tidak tergoyahkan lagi karena telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
Untuk membina agar anak-anak mempunyai sifat terpuji tidaklah mungkin dengan penjelasan saja, akan tetapi perlu membiasakannya untuk melakukan yang baik yang diharapkan nanti dia akan mempunyai sifat-sifat itu, dan menjauhi sifat-sifat tercela. Kebiasaan dan latihan itulah yang membuat anak cenderung melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik.
Demikian pula dengan pendidikan agama, semakin kecil umur anak, hendaknya semakin banyak latihan dan pembiasaan agama yang dilakukan pada anak, dan semakin bertambah umur anak, hendaknya semakin bertambah pula penjelasan dan pengertian tentang agama itu sesuai dengan perkembangan yang dijelaskannya.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya, terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Pendidik atau pembina yang pertama adalah orang tua, kemudian guru. Sikap anak terhadap agama dibentuk pertama kali di rumah melalui pengalaman yang didapat dari orang tuanya, kemudian dissempurnakan dan diperbaiki oleh guru disekolah maupun ditempat pengajian seperti masjid, mushola, TPQ dan madrasah diniyyah.
Latihan- latihan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an, sopan santun, dan lain sebagainya, semua itu harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang dan terbiasa dengan aktifitas tersebut tanpa ada rasa terbebani sedikitpun.
Pembinaan yang baik pada anak adalah membiasakan untuk melakukan kegiatan keagamaaan atau dibiasakan dalam suasana keagamaan, yang sudah barang tentu kesemuanya diiringi dengan contoh atau teladan yang baik. Kemudian pada tingkat berikutnya anak baru diberikan pengertian tentang ajaran atau norma-norma keagamaan untuk dapat dipatuhi secara baik.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Dari kajian yang telah dipaparkan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa pada umumnya agama seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilaluinya pada masa kecilnya. Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, pada masa dewasanya seorang anak tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya. Lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman agama, maka orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut menjalankan larangan-larangan agama dan dapat merasakan betapa nikmat hidup beragama.
Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua, guru dan lingkungan mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmadi , Abu dan Munawar Sholeh,2005. Psiokologi Agama. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Baharuddin dan Mulyono. 2008. Psikologi Agama dalam Perspektif Islam. Malang : UIN Press.
Desmita, 2010. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
B. Hurlock, Elizabeth. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
Nawawi, Handari. 1993. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Jalaluddin, 2007, Psikologi Agama, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Soesilowindradini, Psikologi Perkembangan (Masa Remaja), Surabaya: Usaha Nasional.
Mar’at, Samsunuwiyati, Desmita, Psikologi Perkembangan, 2006, Bandung: PT Remaja Posdakarya.
Labels:
psikologi agama,
semester 6
{ 1 comments... read them below or add one }
Terimakasih gan....
Posting Komentar