Genealogi
Islam Radikal Di Indonesia
Gerakan,
Pemikiran dan Prospek Demokrasi
Oleh
: Anharul Ulum
Pendahuluan
Sebagian besar
sejarawan sepakat bahwa penyebaran Islam di kawasan Nusantara –yang nantinya sebagian
besar wilayahnya menjadi
Indonesia –ditumbuh-kembangkan melalui
proses dan pola secara damai. Penduduk di kepulauan ini pada umumnya
menerima dan memeluk agama yang
dibawa Nabi Muhammad
(saw) itu secara
suka rela, tanpa dilatarbelakangi dengan
adanya suatu paksaan
yang berarti. Bahkan
sampai derajat tertentu, penduduk menyikapi agama yang baru ini
sebagai sesuatu yang tidak asing. Pola penyebaran dan
pembumian Islam secara
damai ini menjadi
ikon penting Islam
di bumi Nusantara.
Kendati demikian,
keberagamaan Islam di
kawasan tersebut bukan
berarti seutuhnya berwajah mulus
seperti itu. Dalam periode tertentu, atau dan di daerah tertentu kekerasan dari
kelompok Islam tertentu juga ikut menghiasi wajah keislaman Nusantara.
Kelompok awal yang
melakukannya adalah gerakan
Padri yang melakukan
kekerasan bukan hanya terhadap
orang di luar Islam, tapi juga terhadap sesama Muslim yang tidak mau mengikuti
ajaran mereka.[1]
Memotret satu dinamika
penting yang berlangsung di masa transisi demokrasi, yakni pertumbuhan dan
perkembangan elemen-elemen Islam radikal di Indonesia, khususnya sejak 1998 hingga
2008. Dalam tahun-tahun awal reformasi, berbagai kelompok Islam radikal semakin
naik daun, seiring dengan proses transisi demokrasi yang semakin terseok-seok.
Di tengah kondisi masyarakat yang kurang kondusif, serta pecahnya konflik
keagamaan di beberapa daerah, telah memberikan peluang bagi kelompok-kelompok
Islam berhaluan radikal memainkan peran dominan dalam isu-isu nasional.
Kelompok-kelompok
Islam radikal yang mempunyai misi mengislamisasi tatanan kenegeraan, berupaya
mentranformasi sistem demokrasi kenegaraan yang tidak diterima oleh
kelompok-kelompok Islam yang dengan membawa alasannya. Gerakan demi gerakan
digencarkan bedarsarkan situasi yang yang ada pada transisi tersebut hanya
seperti suara keras yang sulit didengar. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini
bahwa gerakan (aksi-aksi teror) yang dilakukan oleh kelompok islam dapat saya
simpulkan hanya membawa kesan negatif bagi umat islam sendiri. Masyarakat
tidaklah buta maupun tuli ketika kelompok yang menatasnamakan islam melakukan
gerakan yang dinilai melebihi batas kemanusiaan.
Lebih
jauh, perlu adanya kajian kritis terkait fenomena yang terjadi agar dapat
mendapatkan pemahaman yang komprehensif terkait dengan buku yang ditulis oleh Abd
A’la. Dibawah ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai biografi penulis buku,
pemikiran, bagaimana buku ini ditulis, metode penulisan buku, isi buku,
apresiasi dan kritik reviewer
terhadap buku.
Biografi
M
Zaki Mubarok, lahir di Ambarawa, 27 September. Menempuh S1 Progam Studi Ilmu
Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya, dan S2 Ilmu Politik Universitas
Indonesia (2003), Lalu kemudian menjadi pengajar di Progam Studi Pemikiran
Politik Islam di Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat UIN syarif Hidayatulah,
Jakarta. Melakukan Penelitian multikulturalisme di Singapura dan Malaysia.
Pemikiran yang mempengaruhi penulis
buku
Berangkat dari perjalanan akademisi yang terfokus
pada dunia politik yang ditempuhnya dalam mendapatkan gelar S1 sarjana politik
di Progam Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya. Tentu
tertanam suatu doktrin pemikiran akar politik yang luas, dalam berteori maupun
pengimplementasinya. Sebagaimana tercermin dalam komentar beliau dalam bukunya
“geneologi Islam Radikal di Indonesia” yang menyebut bahwa gerakan Islam
Radikal Indonesia hanyalah sebuah metode atau jalan politik yang digunakan
kelompok tertentu untuk menduduki kekuasaan.
Berkecimpung
dilingkungan Universitas yang berbasis Islam sebagai pengajar pemikiran politik
Islam serta memiliki pengalaman penelitian tentang Multikulutural, tentu
membawa berbagai pemikiran Islam yang menjadi latarbelakangnya. Disini saya
dapat membaca bahwa suatu bentuk pemikirinnya terbangun sejalan dengan
pendidikan serta apa yang beliau lakukan sebagai pengajar dan sebagai peneliti
(dalam ruang lingkup politik Islam.
Bagaimana buku ini di tulis
M
Zaki mubarok memberikan suatu sumbangsi pemikiran yang terstruktur dalam
bukunya yang berjudul “Geologi Islam Radikal Di Indonesia” adalah dimulai
ketika persoalan terkait dengan perkembangan Islam Radikal dan demokrasi di
Indonesia muncul paska kekuasaan Soeharto. Faktor-faktor yang melatarbelakangi
munculnya Islam Radikal. Gagasan-gagasan yang berkembang serta gerakan dalam
kelompok-kelompok radikal dalam mencapai tujuanya menimbilkan interaksi dan
persinggungan dalam proses demokratisasi, serta implikasinya bagi proses
konsoliasi demokrasi di Indonesia.
Beberapa
cakupan itulah yang melatarbelakangi penulisan buku ini. penulis mengadopsi
literatur-literatur yang kongkrit guna menudukung penyempurnaan buku lebih
lanjut. Pemahaman-pemahaman yang penulis berikan bertujuan untuk membuka
pandangan pengetahuan tentang Islam Radikal di Indonesia. Sebagaimana gerakan,
Pemikiran dan prospek demokrasi tentang Islam radikal di Indonesia terpapar
secara spesifik yang diharapkan pembaca mendapatkan pengetahuan baru atau
sebagai pengetahuan tambahan atas pengetahuan yang sudah dimiliki pembaca.
Isi
Buku
Geologi Radikalisme
Transisi
kepemimpinan secara tidak langsung membuka celah-celah bagi kelompok Islam
radikal mendapatkan posisi-posisi ideal serta dukungan atas gerakan yang mereka
jalankan. Kebijakan yang dibawa pimpinan diikuti desakan suara-suara dari
kelompok radikal tidak sepnuhnya ditolak ketika disinergikan dangan sistem
demokrasi yang bertahta. Beberapa kebijakan nyatanya berhasil tersematkan dalam
rancangan pengasahan undang-undang yang memberi warna Islam dalam aras
birokrasi dan militer.
Menguatnya tuntutan
pemberlakuan syariat Islam dan lahirnya Peraturan Daerah (Perda) syariat Islam
di beberapa daerah, merupakan salah satu persoalan penting yang banyak
mendapatkan perhatian masyarakat. Walau demikian, buku ini tidak berpretensi
menyingkap secara menyeluruh (holistic) segi-segi perkembangan Islam radikal di
Indonesia, tetapi mencoba menelusuri apa dan bagaimana gerakan (actions) serta
mainstream pemikiran yang mereka kembangkan dalam masa transisi demokrasi.
Selanjutnya,
bagaimana masa depan agenda-agenda Islamisasi yang diusung oleh
kelompok-kelompok Islam radikal tersebut di tengah arus demokrasi yang semakin
deras menguat? Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan ini. Revivalisme gerakan
islam radikal semenjak tahun 1988 tidak dengan sendirinya menimbulkan simpati
dan dukungan umat islam di Indonesia pada umumnya. Dari beberapa golongan yang
muncul terdapat masalah yang terbukti ketika pemilihan umum tahun 1999.
Partai-partai yang menyuarakan formalisasi syariat islam mendapat perolehan
suara yang minim. Hasil ini dilatarbelakangi masalah “siapa berhak mewakili
islam” nyatanya menjadi sumber silang sengketa diantara umak islam sendiri.[2]
Pergulatan agenda
Islamisasi dan demokrasi sangat ditentukan oleh berbagai perkembangan lebih
lanjut, antara lain kesuksesan konsolidasi demokrasi, keefektifan kinerja
pemerintahan dalam mengatasi persoalan-persoalan mendasar rakyat, dan juga
peran kelompok Islam moderat dalam mendiseminasikan gagasan dan ide-ide
keislaman yang humanistik, demokratis, dan toleran.
Dalam
perspektif ilmu sosial-politik, istilah radikalisme umumnya memang memiliki makna
yang dapat dikaitkan dengan sikap atau tindakan ketidakpuasan seseorang atau kelompok
terhadap keberadaan status dan tuntutan terhadap sesuatu yang sudah mapan, agar
terjadi perubahan secara mendasar terhadap persoalan tertentu. Istilah
radikalisme ini sering juga dipersamakan dengan gerakan sosial yang bersifat
ekstrim kiri (terutama terhadap komunisme-marxisme), akan tetapi dalam perkembangannya
istilah tersebut juga dilekatkan dengan sebutan gerakan ekstrim kanan (misalnya
terhadap facisme dan nazisme). Dalam pengertianterakhir ini istilah radikalisme
keagamaan digolongkan sebagai gerakansosial yang bersifat ekstrim kanan.
Istilah ekstrim kiri dan ekstrim kananinilah yang pada masa lalu sering digunakan
oleh banyak orang untukmenyebut kelompok gerakan–gerakan yang bersifat radikal.[3]
Sebagai sebuah paham, radikalisme
Islam tentu saja tidak dapat dipisahkan dari gerakan fundamentalisme Islam. Keduanya
merupakan gerakan keislaman yang sehati seirama. Sama halnya seperti fundamentalisme
Islam, term dan konsep radikalisme Islam bukan berasal dari rahim Islam, akan tetapi
merupakan produk impor dari Barat. Hingga detik ini, belum ada kesepakatan di antara
pemerhati Islam mengenai istilah yang tepat untuk menggambarkan gerakan radikalisme
Islam. Fazlur Rahman melabeli gerakan ini sebagai gerakan neorevivalisme atau neofundamentalisme
sebuah gerakan yang mempunyai semangat anti Barat.[4]
Gerakan Radikalisme
Dalam
perkembanganya, terdapat dua bentuk berbeda dari gerakan Islam radikal di
Indonesia. Pertama, gerakan Islam radikal yang masih berada dalam habitatnya.
Beberapa diantaranya adalah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Tarbiyah-Ikhwanul
Musliminan dan Gerakan Salafi-Wahabi. Kedua, gerakan Islam radikal yang sudah bermetamorfosis,
meskipun secara ideologis sangat berkesesuaian dengan gerakan Islam radikal
transnasional di timur tengah. Beberapa contoh dapat disebut, misalnya, Front
Pembela Islam (FPI), Lasykar Jihad (LJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan
sebagainya.
Dalam
gerakan yang melibatkan serangkaian aktivisme keagamaan yang melibatkan kelompok-kelompok
Islam militan. Kelompok militan ini memiliki kesadaran politik yang sangat tinggi,
bermusuhan dengan Negara, unsur-unsur penguasanya, dan juga lembaga-lembaga negara.
Antara pendukung gerakan kebangkitan yang lebih luas dengan kelompok-kelompok militan terjadi hubungan yang simbiotik, dimana kelompok
militan akan mudah malakukan rekrutmen anggota-anggota baru, dan
mudah pula bersembunyi di balik gerakan kebangkitan Islam ketika berkonfrontasi
dengan aparat penguasa. Oleh sebab itu tidak heran, gerakan kebangkitan Islam dianggap
sebagai suatu rangkaian kesatuan yang dinamis antara spiritualisme pasif-apolitis
dengan melintasi dan radikalisme.[5]
Ragamnya
kelompok ini menarik untuk dicermati, terutama dari aspek pola gerakannya
masing-masing. Hetrogenitas sebuah kelompok dalam sosiologi biasanya dianggap
sebuah keuntungan bagi kelompok yang lain, perpecahan di antara mereka dianggap
oleh sebuah kelompok yang besar atau yang memegang status quo sebagai anugerah
untuk menghambat kelompok lain. Dalam kenyataanya, secara tidak langsung
hetrogenitas kelompok Islam radikal menjadi anugerah bagi kelompok ini untuk
tetap dapat eksis. Tulisan ini membahas varian-varian gerakan Islam radikal di
Indonesia dengan fokus: Bagaimana karakteristik gerakan Hizbut Tahrir
Indonesia, Tarbiyah-Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Islamiyah (JI), Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan Lasykar Jihad (LJDukungan
Masyarakat Terhadap Gerakan Islam di Indonesia.
Front Pembela Islam (FPI)
Organisasi
FPI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1998, bertepatan dengan
tanggal 24 Rabiuts Tsani 1419 H,di pondok pesantren Al-Um Kampong Utan, Ciputat,
Jakarta Selatan. FPI ini didirikan oleh sejumlah haba’ib, ulama’, muballigh, serta
aktivis muslim dan umat Islam. Tokoh yang mempelopori berdirinya FPI adalah Habib
Muhammad Rizieq Shihab. Tidak hanya di Jakarta, seiring berjalannya waktu, simpatisan
Front Pembela Islam (FPI) bertambah banyak dan mendirikan FPI di daerah-daerah,
Seperti di Surakarta, Bandung dan Yogyakarta hingga hampir di setiap kota di
Indonesia.[6]
Terdapat tiga alasan utama dibalik pembentukan dan deklarasi Front Pembela Islam
(FPI). Pertama, masih kentaranya penderitaan. panjang ummat Islam di Indonesia karena
lemahnya kontrol sosial penguasa sipil maupun militer akibat banyaknya
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum penguasa. Kedua, masih merajalelanya kemungkaran
dan kemaksiatan yang semakin merajalela di seluruh sektor kehidupan. Dan ketiga,
diilhami oleh kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam
serta ummat Islam.[7]
Keberadaan
Fron Pembela Islam (FPI) hampir selalu dikaitkan dengan aksi-aksi penyisiran
penyerangan, dan perusakan tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat
kemaksiatan. Front Pembela Islam juga sangat intensif ddengan mengkritisi
berbagai persoalan politik yang muncul. Termasuk melakukan demontrasi ke
lembaga-lembaga pemerintah dan DPR hamper selalu berkaitan dengan tuntutan
untuk melang dan menutup lokasi-lokasi yang dianggap sebgai sumber kemaksiatan.
Dasar
berdirinya FPI sendiri menurut Habieb Rizieq lebih dilatarbelakangi oleh
keprihatinan terhadap semakin maraknya tindak kemaksiatan dan pornografi.
Sementara aparat yang mestinya memberantas berbagai macam kemaksiatan tersebut
seperti tidak berdaya dan bahkan membiarkan begitu saja. Kenyataan ini tentu
bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dipegang FPI, yang tujuan
pendiriannya, sebagaimana dinyatakan dalam anggaran dasarnya, adlah untuk “
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dan nahi munkar terhadap segala perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai syar’i itulah maka FPI menjalankan
aksi-aksinya.[8]
Laskar Jihad Ahlussunah Wal Jamaah
Laskar
Jihad merupakan bagian dari gerakan salafi. Kar kesejarahan dari gerakan salafi
ini dapat dirunut asal mulanya dari gerakan wahabi atau wahabiah yang muncul
pertama kali pada akhir abad ke-19 di Saudi Arabia. Pada awal perkembangannya,
ide-ide dan perilaku yang dianut oleh kelompok wahabi sempat menimbulkan amarah
dari kelompok-kelompok Islam yang lain. Disebabkan pandangan wahabi yang
terlalu ketat mengenai konsep kehidupan. Ide dan gerakan yang dilakukan
semuanya dalam rangka pemurnian tauhid dari segala macam syirik dan bid’ah.
Dibanding
gerakan-gerakan Islam lainnya, maka gerakan salafi di Indonesia dianggap paling
“bungsu”. Dalam percaturan gerakan Islam dan politik di Indonesia, Gerakan
salafi dipimpin Ja’far Umar Thalib’lah yang muncul dipermukaan. Meskipun
gerakan salafi dianggap paling bungsu, karena belum lama masuk ke Indnesia,
tetapi perkembangannya cukup pesat. Hal ini dapat dilihat dari menjamurnya
berbagai instusi pesantren beraliran salafi telah menyebar luas di banayk
tempat di Indonesia, mulai dari kota-kota di Jawa, Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Namun
kemudian kelompok ini kemudian menjadi sangat populer di tengah masyarakat dan
sering menjadi topik pembicaraan kalangan luas, bukan karena keberhasilan dalam
mengelola pesantran dan pendidikan, tetapi berkaitan dengan berdirinya
organisasi laskar jihad dengan segala penampilan dan sepak terjangnya. Laskar
Jihad, yang merupakan bagian dari Forum Komunikasi Ahlussunah Wal Jamaah
(FKAWJ) dibentuk dalam rangka menyambut seruan perang suci ini.
Laskar
Jihad terbentuk seiring dengan memanasnya konflik antar agama yang berlangsung
di Maluku. Proses kearah kehadiran Laskar Jihad ini telah diawali melalui
beberapa acara tablig akbar. Ja’far Umar Thalib menyatakan kecamannya dalam
sikap pemerintah yang dianggapnya gagal meredakan pertikaian di Ambon yang
telah berjalan lebih dari satu tahun.
Secara
Umum, FKAWJ memili beberapa progam yang antara lain: pertama, berdakwah di
daerah konflik; kedua, bakti sosial dan pengobatan; ketiga, melakukan pembelaan
terhadap umat Islam yang teraniaya; keempat, menyebarluaskan informasi mengenai
tragedi kemusiaan yang terjadi di Maluku; kelima, melakukan penggalangan dana;
keenam, menyantuni fakir miskin dan anak yatim serta keluarga yang ditinggal
jihad; ketujuh, melakukan perekrutan Laskar Jihad yang dikirim ke daerah konflik.
Meskipun banyak menuai kritikan keras dari beberpa elemen masyarakat dan
ancaman-ancaman dari pemerintah yang melarang keberangkatan pada daerah
konflik, namun tidak dapat mencegah paara anggota laskar jihad untuk mengirim
anggotanya ke daerah konflik.[9]
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
Sebuah
organisasi keagamaan yang juga lahir pada masa transisi politik, dan kemudian
juga banyak menyita perhatian, ialah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Perkumpulan ini dideklarasikan melalui kongres yang cukup meriah yang
berlangung pada agustus 2000 di Yogjakarta. Semangat dasar yang melatari
kongres MMI di ilhami sebuah semangat untuk mezahirkan syariat ilahi dan
dilatari oleh kesadaran akan pentingnya menyelaraskan langkah perjuangan untuk
menuntaskan persoalan krisis dan krusial keumatan maupun kemanusiaan, yaitu
tegaknya syariat Islam.
Dalam
struktur kepengurusan organisasi, dibentuk juga lembaga ahlul halli wal aqdi (ahwa), yang diketuai Abu BakarBa’asyir yang
sekaligus menjabat amirul mujahidin. Kemudian dalam perjalannya melalui
kongres-konres yang dilakukan lahirlah beberapa hal yang meliputi, strategi
perjuangan, progam perjuangan, dan butir-butir lain yang sebagai dasar proses
perkembangan terwujudnya tujuan dari kelompok Majelis Mujahidin indonesia.
Tidak
diketahui secara jelas jumlah anggota dan simpatisan MMI secara nasional. Dalam
perkembangan selanjutnya, organisasi yang oleh beberapa kalangan secara sinis
disebut kumplan pengikut Kartosuwijo, ini mengalami peristiwa yang hebat dengan
ditangkapnya beberpa tokoh berkaitan dengan tuduhan keterlibatan mereka dengan
gerakan terorisme dibeberapa tempat, termasuk di Siangpura dan Malaysia. Hal
ini sedikit banyak memperlihatkanluasnya jangkauan pengaruh aktivis-aktivis
kelompuk radikal ini. Namun begitu peristiwa-peristiwa dramatis yang menimpa
beberapa tokoh terkemukanya tidaklah membuat organisasi ini mati atau
membubarkan diri, tetapi tetap menjalankan aktivitasnya sebagaimana biasa.
Beberpa cabang baru masih saja dilaporkan berdiri di beberapa tempat di jawa
maupun di luar Jawa.
Hisbut Tahrir Indonesia (HTI)
Hisbut
Tahrir yang berkembang di Indonesia menyebut dirinya sebgai Hisbut Tahrir
Indonesia, namanya menanjak setelah reformasi. Meskipun baru belakangan
organisasi ini emanmpilkan secara cukup masif dalam percaturan gerakan Islam.
Tetapi akar Hisbut tahrir di Indonesia telah cukup lama hadir. keberadaan
Hizbut Tahrir sebenarnya sudah mulai ditemukan jauh sebelum runtuhnya Orde
Baru. HTI pada dasarnya sudah mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 1982
melalui Abdurrahman al-Bagdadi dan Musthofa. Bagdadi adalah pendatang dari
Lebanon yang memang sejak awal berasal dari keluarga aktivis HT. Al-Bagdadi
kali pertama datang dan menetap di Indonesia melalui Abdullah bin Nuh - yang juga
pengasuh Pesantren al-Ghazali pada tahun 1981 untuk membantu Pesantren
al-Ghazali yang diasuhnya.[10]
Di
Indonesia, hingga sekarang, sentral-sentral kegiatan HTI masih terkontrasi di
perguruan-perguruan tinggi dan tentu sebagian besar aktivis dan simpatinya
merupakan mahasiswa, dan totok-tokohnya selalu memiliki keterkaitan dengan
aktivis di lingkungan universitas. Melalui gerakan-geran aksi massa, aktivis
ang terlihat intensiv dilakukan Hisbut Tahrir Indonesia adalah mealukan
serangkaian diskusi-diskusi secara rutin tentang topik-topik yang seragam, yang
maksudkan unruk meyakinkan bahwa berdirinya khaifah Islamiyah adalah solusi
semua problematika.
Laju
perkembangan HT di Indonesia dibandingkan dengan elemen gerakan isam lain yang
mangambil pusat aktivitas di kampus tidak cukup pesat meskipun mengalami
kemajuan juga. Sejuah ini, meskipun wacana idiologi dan doktrin-doktrin yang
ditawarkan HT bersifat radikal, tetapi pendekatan atau pola gerakan yang
dipraktikkan di Indonesia bersifat moderat.
Berbeda
dengan oraganisasi massa pada umumnya, dalam HTI tidak dapat diketemukan
Struktur keorganisasian yang jelas. Hal ini dikatan sebagai suatu kebijakan HTI
dengan alasan politis untuk melindungi eksistensinya. Dengan cara tidak
menampilkan diri secara terbuka struktur dan siapa yang menduduki posisi-posisi
dalam struktur yang bersangkutan. Bahkan dalam rangka “menyelamatkan diri” itulah
terdapat kebiasaan-kebiasaan atau dikalangan HTI untuk menggunakan nama-nama
samaran.[11]
Tabel populeritas kelompok-kelompok Islam
Berdasar
Data Bulan Agustus 2006 Tabel di atas memperlihatkan keberadaan kelompok-kelompok
diruang publik kebangsaan pada tahun 2006 popular di kalangan masyarakat.
Popularitas ini diperkuat oleh Laporan Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun
2005.[12]
Konsep Pemikiran
Fenomena
radikalisme di kalangan Islam, terkait dengan rasinalitas instrumen maupun
tindakan tradisional nonrasional. Radikalisme yang terkait rasionalitas
instrumental, dipahami bahwa sikap radikal dilakukan demi mencapai tujuan
tertentu. Dlam mencapai tujuannya, kelompok ini menggunakan sarana atau alat
yang dapat digunakan secara efektif dan efisien. Radikalisme juga terkait
dengan rasionalitas nilai. Sikap tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran
karena ditopang dengan sistem nilai, keyakinan, harapan, idiologi yang telah
menjadi sistem keyakin yang melekat pada suatu gerakan.[13]
Paradigma
membangun politik yang dijalankan pemerintahan orde baru yang menacu kepada
stabilitas politik, moderinasasi, perkembangan ekonomi, secara sengaja atau
tidak telah membuka peluang bagi arus pemikiran-pemikiran tentunya untuk
berkembang, yakni medernisme islam. Dunia Islam dengan khazanah sejarah sosial
politik keislamannya, dalam banyak kasus, tidak dengan mudah menerima beberapa
prinsip pokok demokrasi yang ditawarkan. Disana-sini banyak terlihat sesitensi
atau penolakan beberapa elemen islam, yang umumnya bagian dari kelompok yang
biasa disebut fundamentalis.
Hemat
penulis melahirkan bebarapa dimensi pemikiran yang terbentuk di
kelompok-kelompok islam yakni umumnya, Cenderung mempromosikan “peradaban
tekstual islam” sehingga melahirkan sikap kaku atau intoleran, syariah minded,
kepercayaan yang berlebihan bahwa umat islam sebagai korban, agenda anti
pluralisme. Kelompok-kelompok muslim yang menyuarakan pandangan antidemokrasi
umumnya masuk dalam kategori fundamentalis Islam. Dalam arti, mereka hanya
memiliki satu dimensi pandangan: hanya sistem islam yang harus ditegakkan. Akan
tetapi, sikap dan respons penolakan kelompok-kelompok radikalis atas demokrasi
ini berada dalam gradasi yang berbeda. Terdapat berbagai persepsi atau sudut
pandang yang tiak sama dalam memandang dan menilai persoalan tertentu, termasuk
mengenai demokrasi. Sebagian penolakan atas demokrasi bersifat moderat,
sebagian yang lainnya bersifat menyeluruh.[14]
Penilaian
Habieb Rizieq Shihab, Ketua Umum FPI, tentang demokrasi dapat digolongkan
sebagai bersifat penolakan yang lunak. Menurutnya, banyak hal dalam pratik
demokrasi saat ini, terutama dalam aspek proseduralnya, sebenarnya telah
dipraktikkan dalam kehidupan politik masa khalifah. Dicontohkan misalnya,
sistem pemilihan presiden secara langsung. Jauh sebelum metode ini diberlakukan
di negara-negara barat, umat Islam telah mempraktikannya ketika memilih Abu
Bakar As-Shidiq menjadi khalif setelah Rasulullah wafat. Abu Bakar dipilih
langsung oleh masyarakat untuk menjadi penguasa tertinggi umat Islam.
Perbedaan
antara sistem Islam dan sistem demokrasi saat ini terlihat dalam ketentuaan
dasar-dasarnya. Dalam Islam, telah diatur secara rinci kedudukan kaum muslimin
dan minoritas (non-Islam), hak dan kewajiban sebagai warga negara yang telah
diatur sedemikian rupa. Dalam ketentuan Islam, komunitas yang berbeda ini tidak
dapat disamakan hak dan kewajibannya. Sebaliknya, dalam praktik demokrasi,
unsur agama hilang begitu saja, sehingga antara pemeluk Islam (kaum muslimin)
dan nonmuslim disamakan begitu saja hak sosial dan politiknya, termasuk dari
segi memegang kepemimpinan strategis.mpandangan semacam ini tidak dapat
dibenarkan dalam siyasah Islamiyah
Dengan
demikian, cukup jelas perbedaan sistem demokrasi dan sistem Islam, meskipun
aspek proseduralnya banyak banyak mimiliki kesamaan. Perbedaanya lebih kepada
substansi kandungan demokrasi dan Islam sendiri. Demokrasi mengabaikan begitu
saja kekuasaan mutlak Tuhan dan menyerahkan segala persoalan dengan rujukan
buatan manusia. Sedangakan dalam Islam semua tindakan dan perilaku politik
sepenuhnya berada dibawah kekuasaan Allah Swt, sehingga bila nilai-nilai
duniawi dan ukhurowi bertolak belakang, atau bertentangan secara diamentral,
maka kewajiban kaum muslimin adalah hanya mentaati sepenuhnya ketentuan
berdasarkan syariat Islam,. Sebab, Alah Swt telah menurunkan syariat Islam
tidak bisa dikalahkan oleh mahluk benama manusia yang tidak luput dari
kebodohan.
Tokoh-tokoh
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga memberikan respon yang cenderung negatif
terhadap demokrasi. Demokrasi dianggap cendererung bersifat sekuralis yang
mengandung banyak kelemahan, berbeda halnya dengan syariat Islam yang telah
sempurna. Praktik-praktik demokrasi tidak dapat memberikan kemaslahatan dalam
kehidupan umat manusia, tetapi justru menawarkan berbagai bencana.
Penolakan
terhadap sistem demokrasi disuarakan juga oleh tokoh Forum Komunikasi
Ahlussunnah Wal Jamaah(FKAWJ). Perbedaan dasar Islam dan demokrasi, menrut
ja’far Umar Thalib, terletak pada asal usul dan suber otoritas kekuasaan itu
sendiri. Dasar pemahaman politik islam ialah bahwa keimanan segala kekuasaan
itu milik Allah semata dan semua mahluk mau tidak mau harus tunduk kepada
kekuasaan Allah yang bersifat mutlak.[15]
Dari
segi kelahirannya, dikatakan bahwa Islam berbeda dengan demokrasi, karena ia
merupakan bikinan akal manusia. Sedangkan islam bersumber dari wahyu Allah.
Dari segi prisip dasar-dasarnya juga demikian. Demokrasi bertentangan dengan
islam. Sekurangnya, ada tiga pilah pokok dalam sistem demokrasi. Pertama,
kedaulatan ada ditangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuatan. Ketiga,
penjaminan atas dasar kebebasan pokok: beragama, berpendapat, pemiikan dan
tingkah laku. Begitu suara yang disampaikan oleh para aktifis Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Beberapa
pemikiran yang telah terurai diatas memacu benak saya untuk berkomentar
mengenai sistem islam dan sistem demokrasi khususnya di Indonesia, bahwa ranah
atau koridor ketatanegaraan yang ideal saat ini tidaklah ideal apabila
berberlakukan sama seperti masa kekhalifahan. Senada dengan apa yang saya
sampaikan, M Zaki Mubarok berkata-kata bahwa persoalan sederhanya kerangka
tradisional yang dibangun berdasarkan Islam an
sich,tidak lagi memadai atau mencukupi bagi berperan dan berfungsinya
kekuasaan politik di era modern. Kompleksitas permasalahan yang selalu hadir
berikutnya, baik yang menyangkut soal-soal ekonomi, politik, sosial, budaya,
maupun komunikasi dan sebagainya mengharuskan adanya berbagai pembaruan dan
inovasi dalam tata kenegaraan.
Menoleh
ke negera timur tengah yang bercorakkan Islami seperti misalnya Arab Saudi,
Iran dan Sudan. Maka kita akan menemukan kenyataan bahwa tidak benar-benar ada
representasikekuasaan politik apapun pada saat ini, baik itu negara maupun
pemerintahan, yang secara murni bersifat Islami. Dari sini bisa menjadi praduga
bahwa mengislamisasi negara khususnya Indonesia hanya akan membawa perubahan
yang menurunkan stabilitas negara. Sistem Teo-Demokrasi yang yang bersifat
Illahiyah tidaklah efisien diterapkan bilamana kita melihat dari berbagai
aspek-aspek yang mempengaruhi suatu tatanan negara Indonesia saat ini. Sebagai
salah satu yang melatarbelakangi hasil praduga, saya melihat dari perbedaan
Sumberdaya manusia dari waktu yang berbeda. Ini tentu memberi sebuah pengaruh
yang mendasar bahwa Indonesia tidaklah efisien bilamana menerapkan syariat
Islam secara sepenuhnya.
Faktor pemicu munculnya radikalisme
di Indonesia
Radikalisme
agama bukanlah merupakan fenomena yang berkembang hanya dikalangan komunitas tertentu.
Keberadaan radikalisme sudah berkembang dalam bentuk yang bercorak trans-nasional
karena bisa dijumpai dihampir berbagai wilayah negara di muka bumi ini. Keberadaan
radikalisme juga bercorak trans-religion karenadialami oleh semua agama. Fenomena
ini telah berlangsung lama dantersebar pada semua agama yang ada di muka bumi
ini.
Banyak
studi yang mencoba memahami akar-akar terorisme dan radikalisme dalam berbagai
perspektif, baik dari segi ekonomi, budaya, politik, psikologi dan keagamaan.
Lantas para ahli sepakat bahwa akar terorisme bersifat kompleks. Namun ada
beberapa segi terorisme agama di Indonesia yang membedakan dengan fenomena serupa
di negara-negara Barat maupun negara Muslim lainnya seperti Malaysia, yakni unsur
kesejarahan.[16]
Istilah
radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang
fundamentalisme, karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang
interpretable. Dalam perspektif Barat, fundamentalisme berarti paham orang-orang
kaku ekstrim serta tidak segan-segan berperilaku dengan kekerasan dalam mempertahankan
ideologinya. Sementara dalam perspektif Islam, fundamentalisme berarti tajdid (pembaruan)
berdasarkan pesan moral Al-Quran dan Sunnah (Imarah, 1999: 22). Dalam tradisi
pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan
seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Quran dan Sunnah (Watt,
1998: 2). Fundamentalisme juga berarti anti-pembaratan (westernisme) (Rahman, 1982:
136). Terkadang fundamentalisme diartikan sebagai radikalisme dan terorisme disebabkan
gerakan fundamentalisme memiliki implikasi politik yang membahayakan negara-negara
industri di Barat.[17]
Pada
dasarnya, radikalisme merupakan fenomena yang telah ada sejak manusia terlahir di
dunia. Pada beberapa dekade belakangan ini, fenomena radikalisme seringkali dimanifestasikan
sebagai islamisme, yakni aktivitas bernuansa agama yang menuntut reposisi peran
Islam dalam politik ketatanegaraan. Islamisme di sini sebenarnya sangat kompleks,
sehingga tidak bisa dijelaskan hanya dengan membuka sejarah-sejarah masa lalu.
Bukan juga hanya dapat dimaknai dengan fanatisme keagamaan yang identik dengan
gerakan kekerasan untuk tujuan surgawi. Namun islamisme tidak dapat terlepas dari
gejala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang menghampiri berbagai belahan
dunia Islam.[18]
Dari
beberapa diskusi dan kajian literatur, dipahami bahwa lahirnya gerakan Islam radikal
di Indonesia memiliki hubungan erat dengan perkembangan gerakan pemikiran salafiyah
di Timur Tengah. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam gerakan salafiyah
didefinisikan sebagai gerakan pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau
memurnikan ajaran Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhamad SAW,
sebagaimana yang diamalkan oleh para ulama salaf (terdahulu). Tujuan dari
gerakan pemikiran Islam Salafiyah ini adalah agar umat Islam kembali kepada dua
sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad
SAW (Sunah Rasul), serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar
pada dua sumber ajaran tersebut. Selain itu gerakan pemikiran Islam Salafiyah juga
bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan kepercayaan-kepercayan
lama yang menyesatkan dan ajaran-ajaran tasawuf yang mengkultuskan tokoh agama termasuk
kegiatan seperti memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu.
Dalam
tataran empirik kelompok-kelompok yang oleh sebagian masyarakat maupun pemerintah
diketegorikan “radikal” menunjukkan adanya peningkatan, baik secara kuantitas maupun
kualitasnya. Kelompok-kelompok tersebut dalam aktifitasnya senantiasa menggunakan
simbol-simbol agama dengan dalih pemurnian atau purifikasi ajaran agama. Hal itu
tidak hanya sebatas adanya perbedaan keyakinan, tetapi sudah menyentuh aspek-aspek
kebudayaan yang oleh kelompok-kelompok tersebut dipandang sudah mengarah pada pelecehan
agama. [19]
senantiasa ada perbedaan dan pertikaian dalam berbagai masalah; aqidah, sumber
hukum Islam, maupun dalam aspek politik. Mereka membuat kesan bahwa kelompok
islam memamng banyak, Islam tidak hanya satu, dan karena itu tidak perlu
meyakini paham islam tertentu.[20]
Perbedaan
dalam cara memperjuangkan paham keagamaan yang dianut ternyata menimbulkan pro dan
kontra yang berkepanjangan, sehingga terjadi ketegangan yang cukup memprihatinkan.
Ironisnya hal itu terjadi pula berupa perang pendapat di berbagai media massa
antara tokoh agama yang dianggap moderat dengan kelompok-kelompok yang dicap
sebagai “radikal”. Akibat dari perang pendapat tersebut, akhirnya memunculkan konflik
antara pendudukung kedua belah pihak.
Faktor
Idiologi Politik
Dari
sudut pandang politik, bangkitnya gerakan radikal dewasa ini tidak terlepas dari
adanya perkembangan iklim demokrasi politik yang tidak lagi sepenuhnya menjadi hegemoni
rezim penguasa. Selain itu kebijakan poltik yang memberi peluang terhadap otonomi
daerah juga memiliki pengaruh terhadap berkembangnya gerakan radikal di
berbagai daerah. Dengan alasan otonomi daerah, kesadaran identitas kedaerahan dan
keagamaan semakin mengental yang pada gilirannya dapat terjadi radikalisasi kelompok-kelompok
masyarakat tertentu untuk memperjuangkan kepentingan politiknya.
Dari
perspektif politik ini, kebangkitan kelompok-kelompok radikal ini juga dapat muncul
akibat adanya ketidak adilan dalam distribusi kekuasaan yang telah terjadi sejak
masa lalu. Para elit politik kelompok-kelompok sosial yang merasa terpinggirkan
dan diperlakukan tidak adil oleh sistem politik yang berlaku dapat menggalang
kekuatan radikal untuk memperjuangkan tercapainya kepentingan politiknya.[21]
Faktor
Sosial Budaya
Ketika
hukum dan norma-norma sosial yang baku dalam sistem sosial tidak berlaku, dan ketika
pengadilan negara tidak mampu memberikan keadilan, maka yang muncul kemudian
adalah pengadilan rakyat dan hukum rimba. Dalam kondisi semacam ini maka yang akan
terjadi adalah krisis dan kekacauan sosial, karena rakyat menjadi gampang marah,
gampang tersinggung dan mengamuk. Lihat saja misalnya, adanya berbagai kasus pembantaian
antarsuku, antaragama, pembakaran hidup-hidup pencuri yang tertangkap oleh massa
dan semacamnya telah terjadi selama ini. Dalam suasana seperti hukum rimba ini
tentu sangat kondusif bagi berkembangnya kelompok-kelompok radikalisme termasuk
kelompok radikal keagamaan.
Faktor
Solidaritas
Mengenai
faktor solidaritas ini tampaknya cukup menonjol bagi sebagian kelompok Islam di
Indonesia yang kemudian menjadi sebuah gerakan. Sebagian dari gerakan ini
muncul sebagai reaksi atau pembelaan terhadap kelompok-kelompok Islam yang dipandang
mendapat perlakuan tidak manusiawi dan tidak adil oleh kelompok-kelompok tertentu
dan tidak segera memperoleh perlindungan yang memadai oleh pemerintah.
Bentuk-bentuk pembelaan yang dilakukan, tidak saja terbatas pada dukungan moral
melalui pernyataan-pernyataan, demonstrasi turun ke jalan dan pemberian bantuan
dana pada korban kekerasan, tetapi juga dalam bentuk pengiriman tenaga dan senjata
untuk ikut bergabung berperang secara fisik dengan mereka yang dianggap sebagai
mereka yang diangap musuh Islam tersebut.
Faktor
Doktrin Teologis
Sebagian
dari gerakan radikalisme keagamaan ini muncul sebagaimana gerakan-gerakan pemikiran
Salafiyah sebelumnya, yakni ingin terus memurnikan ajaran Islam dari berbagai pengaruh
budaya, baik budaya lokal maupun budaya global dan budaya Barat (termasuk budaya
neo imperialisme) yang dipandang telah merusak keyakinan dan kehidupan umat Islam.
Personifikasi dari budaya Barat yang saat ini dipandang sebagai musuh Islam adalah
hegemoni pemerintah Amerika serikat.
Dengan
doktrin seperti itu, maka simbol-simbol Amerika Serikat di mana saja ia berada
harus dihancurkan dan dimusnahkan. Oleh sebab itulah bom-bom yang diledakkan oleh
kelompok-kelompok radikal ini mengambil sasaran tempat dan bangunan yang melambangkan
kedigdayaan Amerika Serikat dan budaya Barat, seperti Bali, Hotel JW Marriot,
dan Kedutaan Australia.[22]
Prospek
Demokrasi
Transisi
demokrasi merupakan proses poolitik yang selalu menyisakan berbagai persoalan.
Terdapat berbagai faktor yang menghambat jalannya konsolidasi demokrasi.
Demokrasi ternya telah membawa berkah bagi banyak pihak. Dalam konteks gerakan
islam, demokratisasi yang berjalan telah memunculkan dua kekuatan besar, yakni gerakan
islam yang memposisikan diri sebagai pendukung setia demokrasi dan gerak islam
yang menempakkan dirinya sebgai penentang demokrasi.
Munculnya
persoalan radikalisme keragaman di era transisi demokrasi, merujuk kepada
Huntington, merupakan akses dari masalah-masalah kontekstual transisi, yang
didalamnya problematika ini muncul dari watak masyarakat, perekonomian, budaya
dan sejarahnya, serta dalam taraf tertentu bersifat endemik. Meletupnya aksi
pemberontakan, konflik komunal, dan kekerasan di tingkat massa, merupakan
bentuk umum yang terjadi paska transisi, dimana pemerintah transisi tidak cukup
efektif untuk dapat mengatasi masalah-masalah tersebut.[23]
Dari
uraian sebelumnya mengenai pemikiran kelompok-kelompok radikal di Indonesia,
dapat ditarik benang merah adanya kesesuaian dalam konteks pentingnya negara
dan kekuasaan dalam implementasi syariat islam, namun ada juga perbedaan atau
variasi pemikiran di kalangan komunitas ini. Soal syariat islam kenyataannya
telah menjadi tema besar yang disuarakan oleh banyak gerakan islam sejak
reformasi bergulir. Desakan kepada pemerintah untuk memformalkan syariat islam
dalam kehidupan benegara tentu saja dirasakan lebih aman dibandingkan tuntutan
pada level diatasnya, yakni membentuk Negara Islam.
Dapat
disaksikan sepanjang era reformasi, adanya kesamaan kepentingan untuk
memberlakukan syariat islam diantara empat kelompok gerakan islam ini
setidaknya telah ditunjukkan oleh antusiasme mereka memperjuangkan berlakunya
piagam jakarta. Upaya itu itu menjadi semacam ujicoba keberhasilan untuk
memasukkanPiagam Jakarta pada pasal 29 UUD 1945 yang akan menjadi pintu masuk
bagi desakan lebih lanjut untuk peberlakuan syariat Islam secara lebih
menyeluruh.
Konstelasi
politik yang terbentuk di parlemen dan adanya resistensi segaian besar
masyarakat tehadap dimasukkannya kemabali dari Piagam Jakarta itu, maka
pupuslah upaya menuju formalisasi syariat islam ini. Dalam hal ini yang terjadi
kemudian adalah adalah formalisasi syariat Islam digelindingkan melalui
pembuatan peraturan-peraturan daerah (Perda) Syariat Islam.
Berkaitan
dengan revivalisme radikal Islam penulis mencatat setidaknaya ada duadimensi
yang penting untuk dilihat. Pertama, faktor eksternal, berpa perkembangan
situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang tengah berlangsung saat ini,
baik berskala domestik maupun internasional, telah memberikan pengaruh dan
dorongan yang luas bagi menguatnya radiologi radikalisme di kalangan Islam
Indonesia. Kedua, faktor internal,berupa terjadinya tranformasi doktrin dan
pemahaman keagamaan di kalangan kelompok-kelompok yang telibat dalam gerakan
radikal tersebut.[24]
Keberhasilan
revolusi islam di Iran, yang berhasil menumbangkan rezim sekuler yang
mendapatkan dukungan dari amerika serikat, telah membawa pengaruh yang dalam,
bukan hanya masyakat Islam di timer Tengah, tetapi juga dikalangan umat Islam
di Indonesia terutama kelompok mudanya. Kelompok-kelompok diskusi keislaman
yang formal ataupun nonformal di kampus-kampus menjadi berkembang subur. Hal
ini menjadi salah satu fenomena yang menggambarkan semakin tingginya perhatian
kelompok muda mempelajari Islam. Kampus yang akhirnya menjadi basis strategi
dan terbuka bagi ekspansi gerakan melalui jalur dakwah kampus.
Bagaimana
kemudian masa depan berbagi agenda Islamisasi yang diusung oleh kelompok-kelompok
Islam di tengah arus demokrsi yang terus menguat saat ini? Tidak ada jawaban
yang cukup pasti. Namun, prospek agenda Islamisasi dan perjuangan menuju
demokrasi akan ditentukan oleh berbagai perkembangan lebih lanjut yang
setidaknya menyangkut beberapa aspek dibawah ini.
Pertama,
tingkat keberhasilan dalam konsolidasi demokrasi. Keberhasil dalam menejemen
dan pengelolaan demokrasi yang saat ini telah berjalan dapat memberikan hasil
yang optimal. Hal ini setidaknya harus dapat dilihat dengan semakin terbukanya
ruang untuk berpartisipasi, kebebasan dan keluasan dalam menyampaikan aspirasi,
pendapat dan berorganisasi, tersedianya kesempatan yang sama bagi semua orang
dalam menjalankan aktifitas. Dan yang tidak kalah penting kemampuan untuk
memberikan kepastian-kepastian masa depan tentang kondidi politik, sosial,
ekonomi dan sebagainya. Kemampuan dalam mengelola demokrasi seperti itu akan
mengukuhkan legimitasi demokrasi di mata rakyat, sekaligus akan mempersempit
celah bagi hadirnya laternatif-alternatif lain yang umumnya bersifat ekstrem.
Kedua,
terletak pada derajat kearifan keefektifan kinerja pemerintah dalam menjalankan
berbagai kebijakan penting yang menyangkut sendi-sendi yang paling mendasar
kehidupan rakyat. Dalam hal ini, yang cukup mendasar adalah kebijakan
perekonomian pemerintah yang lebih memberi kepastian, yang mampu
mensejahterakan masyarakat dan membuka kesempatan kerja yang lebih luas. Sebab,
krisis ekonomi yang bertambah parah akan membuka krisis lain yang lebih luas
dan berimplikasi pada terjadinya frustasi sosial yang semakin parah. Masyarakat
yang mengalami “proletarisasi” dengan kadar devrivasi sosial yang tinggi akan
mudah tersulut melakukan tindakan radikal dalam mencari alternatif lain.
Ketiga,
peranan straegis berbagai kelompok islam moderat untuk mendorong atau
mendiseminasikan ide-ide dan gagasan keagamaan yang bersifat lebih dinamis,
fleksibel, dan tidak “hitam-putih” dalam melihat persoalan, yang merupakan counter discourse terhadap tawaran
pemikiran dari kelompok islam radikal yang cenderung memonopoli kebenaran.
Krisis legimitasi di kalangan kelompok Ilam garis keras, yang diperlihatkan
dengan minimnya simpati serta dukungan dari kalangan umat islam sendiri,
menjadi pertanda bahwa pemikiran keislaman lain yang bersifat moderat dan
elastis ternyata lebih dapat diterima oleh sebagian terbesar umat islam di
indonesia sebagaimana ditunjukan pada tabel pada uraian sebelumnya.
Diluar
fenomena ketidakadilan global yang hingga kini terus dirasakan oleh umat Islam,
arus keagamaan yang humanistik dan menghargai pluraritas dapat menjadi sebuah
jembatan diantara dua kutup gagasan atau paham ekstrem yang saling menafikan,
yakni fundamentalis keagamaan (Islam) dan sekularis fundamentalis. Keduanya jelas
bukan solusi terhadap problematika yang berkaitan dengan relasi antara agama
dan negara di Indonesia. Ilam fundamentalis mencoba memaksakan sebuah slamisasi
total terhadapinstusi negara, sehingga negara menjadi payung yang memberikan
prefilese terhadap kelompok keagamaan tertentu dan mefikan mereka yang berada
diluarnya.[25]
Konsepsi
hubuangan antara negara dan agama yang terbangun di Indonesia yang meberikan
ruang bagi peranan agama secara terbatas dalam pemerintahan. Kiranya merupakan
bentuk kompromi yang paling memungkinkan diantara dua pilihan ekstrem yang ada,
yakni faham sekularis fundamentalis yang menginginkan negara “bersih” dari
agama, dan Islam fundamentalis yang obsesikan berdirinya Negara Islam. Lalu
kemudian bagaimana keseimbangan ini dapat dijaga dan mampu memproteksi dari
berbagai upaya politik yang seringkali memanipulasi simbol-simbol keagamaan
untuk mencapai tujuannya? Hal ini tentu perlu dicarikan rumusan lebih lanjut.
Terdapat
berbagai prasayat untuk dapat mewujutkan tatanan ideal semacam itu. Beberapa
hal termasuk antara lain, terletak pada sejauh mana kemampuan untuk menjaga
pola hubungan yang “saling mengisi” antara agama dan negara dalam batas yang
wajar, adanya kepastian politik dan ekonomi yang lebih memberikan harapan
kepada rakyat. Juga seberapa jauh kelompok islam moderat berhasil mengembangkan
dan memperkukuh wacana keislaman yang lebih humanistik dan toleran menjadi
wacana dominan. Berbagai faktor tersebut sidikit banyak akan membatasi ruang
gerak perilaku dan pemikiran keagamaan yang hanya menawarkan imajinasi dan
mimpi kepada masyarakat.
Metode
Pendekatan
Fenomenologi
sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena
disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil
dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa
sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah
pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali.
Dasar untuk
membahas Islam dibutuhkan semacam pendekatan yang mampu menjelaskan dari sisi
mana Islam dilihat. Untuk itu diperlukan seperangkat metodologi atau pendekatan
agar studi Islam lebih dapat dikaji secara objektif. Karena bila dilihat pada
tataran politik sangatlah sempit dalam memahami Islam. Oleh karena itu disini M
Zaki Mubarok mengangkat sebuah pendekatan fenomenologi untuk medapakan suatu
pemahaman yang diinginkan.
Apresiasi
Kelebihan
buku yang manjadi topik ini adalah ketika saya beranggapan bahwa buku geneologi
islam radikal di indonesia yang di tulis oleh M zaki Mubarok adalah sebuah buku
cerita keagamaan (dongen tidur), ternyata mampu menunda alasan alasan tidur
dengan menggambarkan peta gerakan partai politik Islam di Indonesia. Berawal
dari kelompok-kelompok keagamaan yang berdiri di Indonesia dengan segala
latarbelakangnya. Kemudian menjadi bahasan yang cukup menarik ketika
fenomena-fenomena gerakan Islam diangkat menjadi pelengkap dalam alur cerita
Islam Radikal di Indonesia ini.
Mampu
memaparkan dengan gamblang terkait fenomena yang terjadi berhubungan dengan
perjalanan islam radikal di Indonesia yang berusaha turut serta dalam tatanan
politik Indonesia.
Kritik
Kekurangan
yang menurut saya menjadi kata yang perlu disampaikan adalah ketika suatu sub
topik diangkat yang menjelaskan sebuah fenomena, saya merasa ada sesuatu yang
mengkin sengaja tidak disampaikan oleh penulis. Disini saya mengabil contoh
seperti gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Kelompok Islam terkesan negatif
pada kacamata saya. Literatur-literatur yang diambil dari sudut radikal seperti
tidak menjadi senjata bahwa apa yang meraka dianggap suatu yang benar. Sehingga
muncul perspektif bahwa tidak adanya komunikasi antara aksi dan reaksi terhadap
islam radikal di Indonesia. Atau mungkin ini hanya sebuah konsep pemikirian
egois saya yang menginginkan bahwa alur dalam buku yang ditulis ini sesuai apa
yang saya inginkan.
Referensi
A’la Abd. 2008. Genealogi
radikalisme muslim nusantara Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum
Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan.
Choirol Ummah Sun.
2012. Akar Radikalisme Islam di Indonesia,
Jurnal Humanika. Volume 8 No.12.
Husaini, Adian. 2006. Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di
Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insani.
M.Nuh Nuhrison. 2009. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan
Islam Radikal di Indonesia. Jurnal Multikultural dan Multi Religius. Volume 8 No.31.
Mostofa Imam. 2012. Terorsisme: Antara Aksi Dan Reaksi. Jurnal
Religia. Volume 15 No.1.
Mubarak M Zaki. 2015. Dari NII Ke ISIS; Transformasi Idiologi dan
Gerakan Dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemperer. Episteme, Volume 10
No.1.
Mubarok M muzaki. 2008.
Geneologi Islam Radikal. Jakarta:
LP3ES.
Rubiadi. 2011. Variasi Gerakan Islam Radikal di Indonesia.
Jurnal Anlisis. Volume 11 No.1.
Sumbulah Umi. 2010. Islam “Radikal” Dan Pluralisme Agama,
(Jakarta: Badan Balitbang Dan Kementrian Agama RI).
Syaefudin Machfud.
2014. Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front
Pembela Islam", Jurnal Ilmu Dakwah. Volume 34 No.2.
Zuhdi M Nurdin. Kritik
Terhadap Pemikiran Gerakan Keagamaan Kaum Revivalisme di Indonesia.
[1]
Abd A’la, " GENEALOGI RADIKALISME MUSLIM NUSANTARA Akar dan Karakteristik
Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik
Kekuasaan", April 2008, hal. 2
[2]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 114
[3]
Nuhrison M.Nuh, "Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia", Jurnal Multikultural dan Multi Religius, Volume 8
No.31, September 2009, hal. 37
[4]
Imam Mostofa, "Terorsisme: Antara Aksi Dan Reaksi", Religia, Volume
15 No.1, April 2012, hal. 74
[5]
M Nurdin Zuhdi, "Kritik Terhadap Pemikiran Gerakan Keagamaan Kaum
Revivalisme di Indonesia", hal. 5
[6]
Machfud Syaefudin, "Reinterpretasi Gerakan Dakwah Front Pembela
Islam", Jurnal Ilmu Dakwah, Volume 34 No.2, Desember 2014, hal. 261
[7]
Rubiadi, "Variasi Gerakan Islam Radikal di Indonesia", Jurnal
Anlisis, Volume 11 No.1, Juni 2011, hal. 43
[8]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 117
[9]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 125
[10]
Rubiadi, "Variasi Gerakan Islam Radikal di Indonesia", Jurnal
Anlisis, Volume 11 No.1, Juni 2011, hal. 37
[11]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 132
[12]
Rubiadi, "Variasi Gerakan Islam Radikal di Indonesia", Jurnal
Anlisis, Volume 11 No.1, Juni 2011, hal. 42
[13]
Umi Sumbulah, Islam “Radikal” Dan Pluralisme Agama, (Jakarta: Badan BALITBANG
dan KEMENTRIAN AGAMA RI, 2010), hal. 44
[14]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 264
[15]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 271
[16]
M Zaki Mubarak, "Dari NII Ke ISIS; Transformasi Idiologi dan Gerakan Dalam
Islam Radikal di Indonesia Kontemperer", Episteme, Volume 10 No.1, Juni
2015, hal. 80
[17]
Imam Mustofa, "Terorisme Antara Aksi dan Reaksi", Religia, Volume 15
No.1, April 2012, hal. 70
[18]
Sun Choirol Ummah, "Akar Radikalisme Islam di Indonesia", Humanika,
Volume 8 No.12, September 2012, hal. 114
[19]
Nuhrison M.Nuh, "Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia", Jurnal Multikultural dan Multi Religius, Volume 8
No.31, September 2009, hal. 36
[20]
Andian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam studi Islam di Perguruan Tinggi,
(Jakarta: Gema Insani, 2006), hal. 95
[21]
Nuhrison M.Nuh, "Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia", Jurnal Multikultural dan Multi Religius, Volume 8
No.31, September 2009, hal. 45
[22]
Nuhrison M.Nuh, "Faktor-faktor Penyebab Munculnya Faham/Gerakan Islam
Radikal di Indonesia", Jurnal Multikultural dan Multi Religius, Volume 8
No.31, September 2009, hal. 47
[23]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 346
[24]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 249
[25]
M muzaki Mubarok, Geneologi Islam Radikal, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal. 262
{ 3 comments... read them below or add one }
thank, i copy ur idea
Menangkan juga Jackpot hingga ratusan juta rupiah.
Custumer Service online kami siap 24jam akan melayani Deposit,
withdraw dan Registrasi anda dengan cepat, ramah, sopan dan
juga profesional.
Kami bertransaksi Menggunakan Bank BCA, BNI, BRI , Danamon , dan Mandiri
Ayo segera daftarkan diri anda di www,pokers1288,pw
(WA : 081910053031)
s1288Poker adalah agen bandar online indonesia yang terfavorit dan banyak penggemarnya, Permainan seru ini tanpa bot, tanpa admin dan 100% player vs player. Situs ini adalah jenis permainan Kartu online yang menggunakan uang asli untuk taruhan. Ayo segera bergabung bersama kami di www,s1288,poker - Kami adalah Agen Bandar Online Yang Terbaik dan Terpercaya di Indonesia. Dengan minimal deposit dan withdraw termurah anda bisa mainkan permainan ini sekarang juga. (WA : 081910053031)
Posting Komentar