Benarlah, manusia sebagai makhluk yang berpikir (hayawan al-natiq), ia ditakdirkan untuk terus berproses menjadi (becoming)[1], hal tersebut meniscayakan kehidupannya yang tak pernah tetap, terus berubah (dinamis), tak terkecuali kehidupan keagamaannya.
Beragama atau berkeyakinan adalah suatu fitrah bagi manusia.[2]
Hal ini bertolak dari kesadaran manusia akan ketidak-berdayaan dirinya
dan adanya sesuatu yang transenden yang patut diunggulkan. Agama,
sebagai pegangan hidup manusia, tentu tak hanya berhenti sebagai
pemikiran ideal belaka, melainkan, seiring perjalanan waktu, harus
diterjemahkan dalam bingkai realitas kehidupan manusia. Agama kemudian
mencari posisinya yang apresiatif terhadap realitas, namun tanpa
mereduksi prinsip-prinsipnya sendiri. Pada titik inilah, pemikiran
keagamaan menjadi suatu hal yang patut diperjuangkan.
Dalam konteks Indonesia, Islam, yakni
agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, telah melalui
perjalanan panjang yang tak mudah. Di wilayah periphery (wilayah
yang jauh dari wilayah Islam berasa, Haramayn), Islam dituntut untuk
menerapkan ajarannya secara luwes sehingga bisa diterima oleh masyarakat
Indonesia yang multikultural.
Saat ini, Islam dihadapkan pada
tantangan-tantangan kontemporer yang kompleks, yang tentu dibutuhkan
penanganan yang baik dengan metodologi (manhaj) yang kontemporer
pula. Namun demikian, pada kenyataannya, banyak cara yang ditempuh
orang-orang Islam dalam kancah pemikiran Islam kontemporer di Indonesia,
yang hasilnya pun tidak seragam meski tujuan tetap sama yaitu
menegakkan Islam sebagai sebenar-benarnya rahmatan llil ‘alamin.
Wacana pemikiran Islam kontemporer di
Indonesia terutama mencuat kira-kira pada peralihan abad 19 menuju abad
20, detik-detik terakhir keberadaan kolonial Belanda di tanah air,
ketika gerakan-gerakan modern Islam mulai terdengar gaungnya.[3]
Wacana tersebut bertitik tolak dari kesadaran masyarakat Muslim
Indonesia akan keterbelakanganya terutama bila dibandingkan dengan
Masyarakat Barat. Masyarakat Muslim harus bangkit, apakah dengan cara
menggali khazanah intelektual Islam lebih dalam, atau dengan memperbarui
metodologi dalam dakwah, sehingga Islam terus maju dan memperluas
pengaruh.[4]
Substansialisme, Formalisme dan Spiritualisme
Lebih jauh, ada beberapa tipologi gerakan
pemikiran-keagamaan Islam kontemporer di Indonesia, yakni
substansialisme, legalisme/formalisme, dan spiritualisme.[5]
Pertama, substansialisme. Paham ini
bertitik tolak pada paradigma pemahaman keagamaan yang lebih
mementingkan substansi atu isi ketimbang label atau simbol-simbol
ekplisit tertentu yang berkaitan dengan agama.[6]
Para “penganut” paham substansialisme,
dalam konteks social-kemasyarakatan, misalnya, merasa lebih nyaman
dengan penerapan nilai-nilai Islam secara implisit dalam segala hal,
tanpa harus memunculkan label yang sering kali hanya mengundang konflik.
Para penganut paham ini akan merasa tidak perlu membangun negara islam,
sebab yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai islam itu dijalankan
sebaik-baiknya oleh orang warga negara yang muslim. Para pendukung
substansialisme ini sangat menekankan pada penghayatan keagamaan yang
inklusivistik, toleran dan menghormati keberagaman (pluralisme). Jelas,
kelompok yang menahbiskan diri sebagai muslim moderat, berangkat dari
sini.
Kedua, formalisme/legalisme. Berbeda
dengan paham yang pertama, substansialisme, formalisme menganggap bahwa
penerapan nilai-nilai Islam tidak cukup hanya secara implisit, melainkan
harus diekspresikan secara eksplisit pula.
Penekanan paham ini terletak pada
ketaatan formal dan hukum agama, yang dalam konteks sosial
kemasyarakatan sering diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang sangat
lahiriah semacam label atau simbol keagamaan, dalam setiap bidang
kehidupan. Sebagai contoh konkret, paham ini meniscayakan adanya bank
Islam/Syariah, asuransi Syariah, bahkan negara Islam dengan hukum-hukum
syariah yang dinaikkan sebagai hukum positif. Pengadopsian pakaian ala
Arab, atau pemeliharaan jenggot dan lainnya, dalam lapangan yang murni
keagamaan, merupakan bentukan formalisme/legalisme ini.
Selain itu, para penganut paham ini
begitu kuat dalam hal mengikuti fatwa-fatwa ulama Abad tengah, memahai
teks secara literal belaka (kurang peduli konteks), sehingga mereka
menolak penafsiran para pendukung substasialisme yang kemudian dipandang
sebagai liberal atau bahkan kafir. Oleh karena itu, paham ini bisa
berujung pada sikap fundamentalistik dengan beragam bentuk ekspresinya,
apakah damai atau radikal.
Ketiga, spiritualisme. Paham yang
terakhir ini lebih menekankan pada pengambangan sikap baginiah, yang
untuk mencapainya meniscayakan keikutsertaan dalam kelompok-kelompok
eksklusif spiritual-mistik, tasawuf atau tarekat, atau bahkan melalui
kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai kultus.[7]
Paham spiritualisme ini cenderung tidak politis sehingga tidak heran
jika kelompok atau paham ini jarang sekali muncul ke permukaan, kecuali
kelompok paham ini keluar atau menyimpang dari paham keagamaan mainstream yang berlaku.[8]
Gejala kemunculan kelompok ini di
Indonesia dipercepat oleh kenyataan berlangsungnya perubahan-perubahan
sosial-ekonomi yang begitu cepat, yang menimbulkan disorientasi atau
dislokasi psikologis dalam kalangan tertentu masyarakat. Selain itu,
bisa pula kemunculan kelompok paham spiritualisme ini didorong oleh
ketidak-puasan mereka pada paham-paham yang ada, substansialisme dan
formalism/legalisme, yang mereka pandang tidak mampu lagi memfasilitasi
perjalanan keagamaan mereka.[9]
Beberapa Varian Pemikiran Islam Kontemporer
Tipologi-tipoligi di atas kemudian
menjelma pada berbagai macam ekspresinya dalam peta pemikiran Islam
kontemporer di Indonesia, yang secara berurutan membagi pemikiran
tersebut pada beberapa varian,[10] di antaranya:
Pertama, fundamentalis. Yaitu,
model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai
satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka
biasanya dikenal sangat commited pada aspek religius budaya
Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup segala aspek kehidupan sehingga
tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar, apalagi Barat.
Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya
sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli
(al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus
dihidupkan kembali dalam kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan
Islam.[11]
Kedua, tradisionalis (salaf).
Yaitu, model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang
telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan
secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah
menyatakan kembali atau merujukkan dengannya. Perbedaan kelompok ini
dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya pada tradisi.
Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa’
al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih, sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya.
Ketiga, reformis. Yaitu, model
pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan
cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai
tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat
langsung diaplikasikan melainkan harus harus dibangun kembali secara
baru dengan kerangka berpikir modern dan prasyarat rasional. sehingga
bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena itu, mereka
berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti
apa adanya.
Keempat, postradisionalis. Yaitu,
model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan Islam berdasarkan
standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang
menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis
mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar
rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris
menjadi historis.
Kelima, modernis. Yaitu, model
pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak
kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan,
sehingga harus ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan
berpikir kritis dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini
biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski demikian,
mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik sekuler
selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah arena berlaku
eklektif terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi
klasik pada posisi sakral dan shalih likulli zaman wa makan.
Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan masa lalu. Modernis
menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan
masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif,
sehingga tidak akan mampu membangun peradaban Islam ke depan.
Jika diperhatikan secara seksama, inti
persoalan yang ditarik-ulur dalam dinamika varian-varian ini mengkristal
pada satu tema, yakni mendialogkan antara tradisi dan modernitas.[12]
Continuity and Change: Sebuah Kesimpulan
Diakui atau tidak, tidak sedikit orang
yang masih pesimis akan masa depan Islam. Peristiwa keagamaan
kontemporer dilihat sebagai ancaman disintegrasi umat. Munculnya
tipologi dan varian dalam pemikiran Islam kontemporer tak lain adalah
progress yang memang sudah seharusnya, yang akan memberi jalan bagi
tercapainya tujuan-tujuan Islam yang universal dan membumi.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa
pemikiran Islam kontemporer merupakan peristiwa sejarah yang,
sebagaimana sejarah, berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity). Mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah akan selalu terkait dengan “waktu’ (time) yang terus bergerak dari masa sebelumnya ke masa-masa berikutnya, berubah (change)
dari kehidupan sejak adanya manusia sampai sekarang yang berlangsung
secara lambat (evolusi) ataupun berlangsung dengan cepat (revolusi). Wallahu A’lam bi al-Shawab.***
* Tulisan ini dipresentasikan pada
perkuliahan “Isu-Isu Islam Kontemporer di Indonesia”, jurusan Sejarah
dan Kebudayaan Islam, semester VI, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis 21
Maret 2013.
Sumber :
https://haukil.wordpress.com/2013/03/23/pemikiran-islam-kontemporer-di-indonesia/
__________________________________
[1] Tak ada sesuatu di dunia ini yang tetap, semua terus berubah (change) dan berproses “Menjadi” (becoming). Pemikiran filosofis ini dikenalkan oleh Heraklitos (535-480 SM), dalam Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 52
[2] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, cet ke-6, 2008 ), hlm. xx
[3]
Gerakan modern Islam telah mewariskan kerangka berpikir yang
komprehensif bagi pemikiran Islam kontemporer di Indonesia sekalipun
masih jauh dari tuntas. Lihat A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm.121.
Gerakan-gerakan modern ini menemukan momentumnya ketika penerapan
politik etis Belanda pada tahun 1901, melahirkan kaum intelektual yang
kemudian mengancam hegemoni Belanda. Baca Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, cet. Ke-2, 2006), hlm. 144-145
[4] Tuntaskan pada Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, cet ke-5, 1990), hlm. 37. Bandingkan dengan Jubair Situmorang, “Fundamentalisme dalam Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 195
[5] Periksa Azumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 9
[6] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi…, hlm. 9
[7] Kultus (cult)
adalah otoritarianisme seorang tokoh pemimpin, ketaatan dan
ketergantungan para pengikut kepadanya, dan, akibatnya, perampasan
kemerdekaan dan kebebasan pribadi. Banyak hasil kajian yang menunjukkan
bahwa kultus merupakan gejala keagamaan yang menyimpang. Kultus sunguh
merugikan masyakat, bahkan membahayakan. Tuntakan pada Nurcholish
Madjid, Islam Agama Peradaban; Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, Cet ke-2, 2000), hlm. 115
[8] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi…, hlm. 10
[9] Azyumardi Azra, Konteks Berteologi…, hlm. 10
[10] Mengenai beberapa varian yang akan disebutkan di sini, kami merujuk pada Aksin Wijaya, Menusantarakan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2008)
[11] Jubair Situmorang, “Fundamentalisme…”, hlm. 194
[12]
Perbincangan mengenai tradisi dan modernitas ini dimulai sejak abad XIX
dan awal XX, yang waktu itu menghdapkan peradaban Barat yang mulai
modern dengan peradaban Asia yang tradisional. Terjadi pertentangan
pendapat, ada yang menerima peradaban Barat dengan konsekuensi
westernisasi Asia, ada pula yang anti-Barat dan tetap kukuh pada
tradisi. Hal ini memmiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan
kebudayaan Islam khususnya Indonesia. Tuntaskan pada Ira M. Lapidus, A History Of Islamic Societies, (New York: Camridge University Press, 1988), hlm. 597 dan 625-626.
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar